Part 1: Dia yang bersalah.
Rinai hujan kian lama kian menukik tajam. Tiap elemen yang ia bawa turut menghujam permukaan bumi. Derap langkah kaki tiap orang yang berlalu-lalang turut menyumbangkan gemercik akibat genangan air yang sensitif akan sentuhan. Kedua tangan mereka terus berdekapan, berusaha melindungi diri mereka yang seolah-olah alergi terhadap air hujan. Jeritan histeris dari atas sana semakin membuat mereka merapat dan bersembunyi dibawah naungan benda berbentuk parabola yang disangga sebuah tongkat kecil. Mereka berjalan semakin cepat dan ada pula yang berlari. Mungkin lebih tepatnya berlari melawan arus. Arus panjang para pekerja kantoran dengan benda parabola diatas kepala mereka. Tanpa mengurangi kecepatannya, ia berkelit layaknya bola bowling yang berusaha menghindari pin-pin dihadapannya. Ia basah kuyup dan menggigil. Tetapi senyumnya semakin mengembang seiring dengan langkah kakinya. Tahu kenapa ? Karena momen ini datang. Satu momen yang ia tunggu selama sepuluh tahun. Satu momen yang akan ia dedikasikan sebagai hari kejujuran. Kejujuran atas segala sesuatu tentang dirinya dan seseorang disana.
Kaki yang tak kenal lelah. Tetap berlari menerjang lebatnya tangisan langit. Berbelok mengikuti sebuah panah yang tak tampak, menuju suatu tempat dimana seseorang itu menunggu. Kakinya kembali menambah kecepatan. Ia masuk di sela sempit pada salah satu sudut pertokoan itu. Kembali memacu kakinya. Otaknya berkata tak ingin terlambat lagi. Cahaya masam mulai dapat ia capai. Kembali berbelok menyusuri trotoar yang lebih sepi, bahkan tak terlihat satupun makhluk hidup disana. Kepalanya memutar 90º ke kanan dan ke kiri. Kosong. Ia dapat berlari tanpa halangan. Perlahan namun pasti, ia menggeser arah tubuhnya menuju sebrang. Tetap berlari kecil sambil mengatur nafas. Hingga akhirnya ia melihat sorot lampu DIM yang semakin mendekat. Ia mempercepat langkah kakinya. Lampu itu menuju ke arahnya, seolah-olah mengikuti langkahnya. Kakinya terasa membeku ketika kembali dipaksa berlari. Tinggal tiga detik lampu itu menyapanya.
3
2
1
BRAAKK !
Tubuh kecilnya tak kuasa menahan gaya yang diberikan pemilik lampu DIM itu. Ia terpental jauh ke depan, tergores aspal, lalu tertahan dengan ubun-ubun yang tersentuh trotoar. Sekujur tubuhnya mati rasa. Dingin. Kaku. Ia seperti orang lumpuh. Samar-samar terdengar langkah kaki yang mendekatinya. Sorot lampu DIM menampakkan siulet seorang laki-laki dan perempuan disampingnya. Sepertinya merekalah pemilik benda berlampu DIM itu.
"Hei, ayo lari ! Polisi didaerah ini sering patroli !" perintah perempuan itu.
"Tapi dia .."
PLAK ! Perempuan itu menampar laki-laki dihadapannya.
"Ini semua salahmu ! Aku nggak mau berurusan dengan polisi ! Kalau kamu mau, sana tolong dia !"
Laki-laki itu diam.
"Nggak kan ?! SEKARANG AYO PERGI !" perempuan itu kembali memerintah sambil menarik lengan laki-laki disampingnya. Mereka kembali ke dalam benda itu dan mulai menyalakan mesinnya, tepat sebelum seorang laki-laki dengan parabola biru ditangannya muncul dari sebuah toko yang telah tutup.
"HEI !!" teriaknya setelah melihat seseorang terkapar didepan tokonya.
Ia menatap Ford merah yang baru saja melewatinya dengan kecepatan tinggi. と 347 Rentetan huruf dan angka itulah yang berada dibagian belakang Ford. Tak lama kemudian pandangannya beralih kepada tubuh tak berdaya yang berada sekitar 2 meter darinya. Ia berlari ke arah tubuh itu. Matanya terbuka lebar ketika melihat banyak darah yang terkikis air hujan. Sesegera mungkin ia merogoh saku, mengeluarkan handphone, lalu menekan beberapa tombol.
"Halo ? TOLONG KIRIMKAN AMBULANS SEKARANG JUGA ! ADA KORBAN TABRAK LARI !!"
Air hasil evaforasi kian lama kian meninggi. Begitu juga suara derap langkah kaki setiap orang yang menghindar supaya mereka tidak terkena air awan itu. Suara suara dari atas sana ikut menyumbang bisingnya malam itu
Tapi tidak untuk seorang pemuda yang satu ini. Dia masih berdiri tegak di tengah lapangan, terus memandangi benda kecil yang berada di tangannya. Ntah apa yang ia tunggu sehingga ia masih betah berdiri disana.
Perlahan lahan tubuhnya bergetar, bibirnya mulai membiru, badannya mulai limbung. Ia menggerakkan kakinya yang mulai membeku kepinggir lapangan.
Ia duduk di bangku yang terletak dipinggir lapangan. Sejenak ia mendongak ke langit. Ntah mengapa perasaannya menjadi tidak enak. Seakan akan ada hal yang buruk sedang terjadi. Tapi ia segera menepis fikirannya itu.
Bibirnya yang pucat bergerak membentuk sebuah rangkaian kata menjadi sebuah kalimat.
"kau dimana ik? Aku menunggumu disini."
Pemuda itu kembali memandangi tiap orang yang berlalu lalang di sekitarnya, mata beningnya memantau keadaan sekitar. Hatinya benar benar tidak enak. Kenapa gadis itu tak kunjung datang?
Dia seperti merasa ada seseorang yang meminta bantuannya.seperti ada yang meneriakan namanya. Sejenak ia berdiri dari bangku itu, mencari cari sumber suara itu. Tapi ia tidak menemukannya! Tidak ada yang memanggilnya!
Arrggh.. Dia meraung sambil menutup telinganya, tapi tetap saja suara itu masih terdengar. Ingin rasanya ia pergi dari tempat itu. Tapi tidak ia lakukan, ia tidak mau ketika gadis itu datang ia justru tidak ada dan membuat gadis itu kecewa padanya!
Pemuda itu kembali pada posisi awalnya! Ia kembali duduk dan terus memandangi sebuah benda kecil berbentuk seperti replika bintang itu.
Berjam jam telah berlalu. Kini hujan telah mereda, matahari mulai terlihat dan menyinari bumi dengan indah. Tapi tetap saja gadis itu tidak datang.
"kau dimana ik? Apa yang sebenarnya terjadi padamu? Apa kau lupa dengan janji kita?"
Terdengar suara brankar yang memecahkan sepi malam saat itu. Suara berisiknya melewati tiap-tiap sudut lorong yang hanya dihiasi lampu. Dua orang perawat membawa brankar yang di sudah ada penghuninya, gadis mungil itu tampak terbaring, terlihat tangan kirinya sudah menancap benda yang sangat menyakitkan.
Laki laki itu mengikuti kedua perawat itu,.
Gadis mungil itu sudah terbaring diruangan yang sudah layak. Hanya sedikit benda-benda medis disini. Gadis itu masih memejamkan matanya. Ia trus menatapnya.
“tega sekali orang yang telah menabrak mu, kau masih terlalu polos”
Hari sudah semakin larut. Tapi gadis itu masih enggan membuka matanya. Mata laki laki itu mulai berat saat ini, ia sudah tidak tahan.
Kembali ke melihat sekeliling, dan untungnya ada sofa.
“lebih baik tidur disini, mungkin tak masalah”
Pagi yang cerah di tambah silau matahari yang menembus jendela ruang inap ini membuat mata laki laki itu bergelik, ia memejamkannya lagi untuk mengumpulkan energy dan kembali membukanya.
“sudah bangun dek, kamu masih setia saja menunggu gadis ini” tampak dokter dan perawat sedang melakukan visite. Laki laki itu hanya tersenyum kepada dua orang yang memakai pakaian putih itu.
“gimana keadaannya dok?”
“apa tadi malam dia ada siuman?”
“nggak ada dok, sampai jam 01.00 malam tadi matanya masih menutup dok, apa itu hal yang buruk?”
Tepat saat itu juga, gadis itu mulai menggerakkan tangan dan matanya kian terbuka.
“arrgg”gadis itu tampak menahan sakit, kepalanya di balut tapi untung saja dia tidak mendapatkan jahitan yang serius.
Kembali dokter dan perawat memeriksa gadis itu.
“ keadaanya tidak terlalu buruk, hanya saja akibat benturan di kepalanya yang cukup hebat, jadi ia harus istirahat beberapa hari disini”
Gadis itu tersenyum ke arahnya.
“makasih yah”
“iya nggak masalah kok, kamu istirahat aja”
“kamu malaikat yang dikirim tuhan yah?” laki laki itu terkekeh saat itu, dia masih terlihat sangat begitu polos. Ia hanya mengangguk.
“nama kamu siapa?”
“panggil debo aja yah, kata dokter kamu harus banyak istirahat”
Gadis itu mengangguk dan memejamkan matanya.
Bunyi denting dari beberapa botol yang berserakan di meja kerap kali ia dengar. Bahkan ia hafal semua suara yang ditimbulkan tiap botol kosong itu. Kembali ia letakkan satu botol yang telah ia habisi, ke tempat botol-botol lainnya. PRAANG ! Dua diantara mereka menumbuk lantai dan kepingannya berhamburan ke segala arah. Ia hanya menggeser sedikit kedua bola matanya, lalu kembali ke arah semula. Menatap langit-langit kamarnya. Tangan kirinya berusaha menggapai botol lain yang telah ia letakkan di bawah sofa tempat tubuhnya berelaksasi. Tak ada. Kosong. Dua botol yang ia letakkan 40 menit yang lalu telah tiada. Ia berdecak kecewa. Dengan malas ia mengangkat tubuhnya yang sempoyongan, lalu menggerakkannya menuju lemari kaca didekat pintu kamarnya. Tangan kirinya terulur dan kembali tertarik dengan menggenggam benda kecil berbentuk bulat yang membuat kaca itu tertarik mengikuti gerakan tangannya. Kelopak matanya yang terbuka setengah sedang berusaha mencari satu botol favoritnya. Gotcha ! Kini ia mendapatkannya. Tangan kanannya menarik botol itu keluar, sementara yang lain mengembalikan benda bulat kecil ke tempat semula. BRAAK ! Suara dari telapak tangan yang menghantam lemari kaca itu sedikit membuatnya berjingkat, kaget. Kelopak matanya yang lebih terbuka tengah menangkap sosok perempuan dengan rambut panjang disamping lemari kaca.
"Kakak ? Mau apa kemari ?"
"Mau apa ?! Apa kau tak sadar dengan apa yang kau lakukan tiga hari yang lalu ?!!"
"Untuk apa ? Itu semua tak berguna .." balasnya sambil mencoba membuka botol ditangannya.
"Kau ini ! Kakak hanya tak ingin kau berurusan dengan polisi lagi !!"
Ia tak menggubris ucapan kakaknya karena sibuk menenggak setengah dari isi botol tadi.
"OBIET ! DENGARKAN KAKAK ! SAMPAI KAPAN KAU TERUS MEMINUM MINUMAN TAK BERGUNA ITU ?!!"
Ia menurunkan botolnya, lalu menatap wajah kakaknya yang memerah seperti kepiting rebus.
"Jangan pedulikan aku .." jawabnya singkat.
"OBIET ! Karena minuman itu kau menabrak seorang gadis ! Parahnya, kau melarikan diri seperti seorang pembunuh !!"
"Pembunuh ? Haah, biarkan saja kak .."
"Biarkan katamu ?!! Sebenarnya apa yang tersimpan didalam otakmu itu ?!! Apa kau bangga terhadap apa yang dinamakan dengan pembunuh ?!!"
Ia tersenyum simpul sebelum membalas tatapan marah kakaknya. "Hmm, mungkin .. Aku lahir dari keluarga pembunuh .. Ayahku seorang pembunuh, ibuku seorang pembunuh, dan kakakku juga seorang pembunuh .. Jadi aku harus bangga terhadap pencapaian keluargaku .. Apa aku salah ??"
Kakaknya semakin memerah. Tangannya menggenggam kuat, berusaha menahan bom emosi yang kembali disulut oleh adiknya.
"Obiet, jangan ungkit masalah itu .. Kakak ingin kau tak mengulangi masa lalu .. Kakak mohon, kau dapat bertanggung jawab terhadap apa yang kau lakukan .. Cuma itu, Biet .."
"Aku hanya melakukan apa yang kusuka .. Bukan apa yang kakak suka .." ucapnya sembari melenggak keluar, meninggalkan kakaknya yang tengah tertunduk lesu didalam kamarnya.
****
Hentakkan drum dari speaker Ford mengiringi perjalanannya menyusuri jalanan kota. Perlahan ia menepikan Ford di jalanan sepi. Kepalanya pening.
'.. Apa kau bangga terhadap apa yang dinamakan dengan pembunuh ?!!'
Kata-kata kakaknya kembali terlintas di otaknya.
"Bukan seperti itu .." ucapnya lirih.
Perlahan ia memijat keningnya yang semakin berdenyut menyakitkan.
'.. Kakak mohon, kau dapat bertanggung jawab terhadap apa yang kau lakukan ..'
Bertanggung jawab ? Apa memang perlu ? Ia kembali mengatur nafasnya, mencoba berpikir layaknya manusia normal. Bertanggung jawab bukanlah suatu hal yang mudah. Apa lagi menyangkut kejadian tiga hari yang lalu. Penjara mungkin akan menjadi tempat tinggalnya. Tetapi tidak. Selama tiga hari ini polisi tidak sedang kalang kabut mencari tersangka tabrak lari. Itu berarti tak ada yang melapor ke kantor polisi. Bisa dikatakan bahwa posisinya aman untuk sementara waktu.
'.. dengan apa yang dinamakan pembunuh ?!!'
Bagaimana kalau gadis itu kehilangan nyawanya ? Atau tak ada seorang pun yang menolongnya saat itu ?
'.. Kakak tak ingin kau mengulangi masa lalu ..'
Kelopak matanya menutup. Jiwanya kembali berlari menuju masa lalu. Sebuah tempat yang paling gelap pada dirinya. Jantungnya kembali memompa darah lebih cepat.
"Tidak .. Jangan ke sana .." ucapnya sembari membuka kelopak matanya lebar-lebar.
BUK ! Stang setirnya sedikit bergetar.
"Aku bukan pembunuh .. Bukan .. AKU BUKAN PEMBUNUH !!!"
Secepat mungkin ia menghidupkan Ford dan memacunya menuju suatu tempat yang memiliki potensi besar untuk menemukan gadis itu.
Tapi itu tidak mungkin, bagaimana bisa pemuda itu kesana dengan keadaannya yang seperti ini. Orang-orang pasti akan menyangka dia yang menabrak gadis mungil itu, walaupun benar dia yang menabrak gadis mungil itu. Tapi ini semua bukan kesalahan dia sepenuhnya, dia hanya mendengarkan bisikan setan, mungkin dia juga bisa di bilang setan karena sudah mengiyakan.
Pemuda itu sekarang berhenti di persimpangan yang kemungkinan polisi tidak akan melakukan patroli malam itu.
Dia kembali teringat gadis mungil itu, tapi apa aku salah? Tidak !!!
“ini sepenuhnya bukan kesalahanku, ini juga kesalahan gadis itu. Hari sedang tidak bersahabat dia keluar” batin pemuda itu terus terguncang, sebelumnya dia belum pernah seperti ini.
“Arrrggggghhh !!! kenapa aku merasa bersalah seperti ini. Okeh, aku akan mencarinya besok. Semoga ada malaikat yang menolongnya.”
Dia terus memukul-mukul kepala, yah itu karena pengaruh minuman haram itu dan ditambah lagi masalah gadis itu. Kepalanya serasa mau pecah.
Cahaya terang memantul kejendela mobil pemuda itu, sangat silau sekali. Ternyata hari sudah pagi, udara begitu segar.
“apa udara pagi selalu seperti ini” perlahan dia membuka matanya
Dia membuka jendela mobil, hanya sedikit kendaraan yang sedang lalu lalang. Dia kembali menghirup udara dan membuangnya. Bagaimana mungkin dia tidak tau kalau udara pagi sesegar ini, dia memang tidak tau. dia terlalu sibuk dengan urusan rumah yang penuh sesak.
“Gadis itu.”
kembali pemuda itu teringat gadis mungil. Kembali dia hidupkan mobilnya, dan melaju secepat mungkin dimana kejadian keji itu terjadi. Pemuda itu melihat sekitar dan benar saja kosong. Apakah gadis itu masih hidup atau….
Kembali dia membuka pintu mobil dan bertanya kepada siapa saja yang berada disana. Disana terlihat ramai, ada banyak perkumpulan bapak-bapak. Entah sedang apa mereka, apa mungkin mengenai kejadian tadi malam…
“maaf pak, apa 3 hari yang lalu ada kecelakaan?” tanya pemuda itu sopan, sebelumnya dia memperbaiki penampilannya. Supaya tidak ada yang mencolok dan membuat orang orang mencurigainya.
“ohh, iya ada gadis kecil yang ditabrak lari. Kejam sekali orang itu” jelas si bapak sambil bercerita kepada temannya sedangkan pemuda itu hanya mendengarkan saja
“apa masih hidup pak? Maaf” tanya dia lagi
“Tuhan telah memberikan gadis itu umur panjang, dia di bawa sama pemuda yang kebetulan lewat ke RS terdekat” jelas bapak
“kamu siapa? Apa kamu kenal dengan gadis itu?” sepertinya bapak itu mulai mencurigai dia, pemuda itu terlonjak kaget dan berusaha menenangkan diri supaya tidak ada yang curiga.
“diaaa,” cukup lama pemuda itu berfikir.
“dia teman saya pak” entah kenapa tiba-tiba saja terucap
“ya sudah pak, saya permisi dulu, makasih untuk informasinya” pemuda itu berlari ke mobil meninggalkan kerumunan itu.
Kembali mobil itu melaju, mobil yang telah menabrak gadis mungil itu.
Lorong itu seolah semakin menyempit dibagian ujungnya. Gema langkah kakinya seperti menyuarakan selamat malam kepadanya. Cahaya dari lampu di sepanjang lorong menyorot sosoknya. Perlahan ia menghentikan langkahnya. Matanya menyipit, mencoba menangkap sosok tinggi yang berdiri memandang jauh menembus kaca tebal yang memisahkannya dengan orang lain yang ada didalam. Apa yang dilakukannya ? Ia kembali melangkah mendekat kepada sosok itu.
"Hei, apa yang sedang kau lakukan ?"
Sosok itu tampak kaget dan salah tingkah. Tetapi dia menutupinya dengan mengetuk jari-jarinya ke pahanya.
"Kau mengenalnya ?"
Sosok itu memutar bola matanya, kembali menatap seseorang didalam.
"Mungkin .." jawabnya.
"Kalau begitu, kau temannya ?"
"Ehm, bukan .. Aku pernah bertemu dengannya, sekali .."
"Begitukah ? Kau tau siapa namanya ?"
"Tidak .. Aku .. Belum sempat mengenalnya .."
“dimana kau bertemu dengannya?”
“entah lah, aku juga tidak mengingatnya”
“ohh… kenapa dia bisa ada disini?”
“tambrak lari, zaman seperti sekarang masih saja ada orang yang melakukan hal bosoh seperti itu, lari dari tanggung jawab. Hanya orang pengecut yang melakukan hal itu”
“keadaannya?”
“aku juga tidak tau, dokter belum ada memberikan diagnosa apa”
Tampak dokter sedang memeriksa gadis itu. Sekarang mereka focus terhadap apa yang terjadi di depan mereka. Perlahan gadis mungil itu membuka matanya, dokter kembali memeriksa.
Menghidupkan senter kecil dan menggerakkannya kedua bola mata gadis itu, kembali dia mengambil stetoskop dan meletakkannya tetap ke dada gadis itu, menggerakkanya kekiri dan kekanan.
Dokter tampak sedang berbicara dengan gadis itu, tapi kenapa dia hanya menggeleng. Gadis itu tidak mengucapkan apa-apa.
Dokter dan suster keluar dari ruangan gadis itu.
“keluarga korban?”
“bukan dok, saya yang mengantar gadis itu kemari”
“dia amnesia dik, apa kau ada menyimpan dompetnya mungkin saja ada KTP untuk melihat identitas gadis itu”
“tidak ada dok, saya tidak menemukan apa-apa”
“kalau begitu sangat sulit untuk membuatnya pulih, hanya keluarga terdekat yang bisa membantu ini semua”
“saya harus berbuat apa?”
“tidak banyak yang bisa kita lakukan, kau mau kan menemaninya?”
“tidak masalah dok, tapi untuk biaya?”
“biar saja yang menanggu semuanya”
Tiba-tiba saja sosok tadi ikut dalam pembicaraan ini.
“apa kau yakin?”
“Ya, aku sangat yakin!”
>>>>>>>>>>>>>>
Created by:
Aniza yanuriska wardani
Debpi zulpiarni
Adisti Natalia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar