Part 3: Lubang yang Terlalu Besar.
Angin mulai berjalan lirih sambil membawa pesan untuk semua orang. Dengan senyum manisnya, ia menyapa setiap pejalan kaki yang malah merasa risih terhadap kehadirannya. Mereka saling merapatkan diri pada baju tebal yang mereka kenakan, menjadikan bentuk tubuh mereka seperti para lansia yang terkena osteoporosis. Angin mulai mendesah. Ia tahu, kehadirannya diawal bulan Desember ini selalu membuat risih orang-orang disekitarnya. Tetapi kenyataannya, angin tak mempedulikan mereka. Ia malah menantang setiap pejalan kaki itu. Jika masih ada diantara mereka yang tersenyum ketika ia mulai mendekat, maka ia akan meminta kepada Tuhan untuk memberikan kebaikan dan kebahagiaan bagi orang itu.
Telah lama angin berjalan untuk menemukan orang itu. Kini ia sedang menyusuri beberapa sudut pertokoan. Tokyo no panya, salah satu papan nama toko yang sempat ia baca ketika berhenti dan mengamati. Perlahan ia meninggalkan toko itu, lalu mengendap-endap dan bersembunyi dibalik lampu jalan didepan toko roti yang baru saja buka. Ia kembali mengintip mereka, sasarannya yang tengah berdiri tak jauh darinya.
Samar-samar ia mendengar suara pemuda yang tinggi itu kepada gadis disampingnya. "Rapatkan jaketmu .. Angin sedang tidak bersahabat ..". Gadis itu mengangguk paham. Ia mengkancingkan bagian atas jaketnya hingga menutup lehernya.
"Iish, kenapa temanmu itu meminta bertemu disaat yang seperti ini ?"
"Namanya Deva, kak .."
"Iya, itu maksudku .. Kalau kau begitu spesial untuknya, kenapa dia membuatmu menunggu lama di cuaca yang tak bersahabat seperti ini ?"
"Kakak .."
"Kalau dalam 10 menit dia tidak datang, kita pergi dari sini .."
"Kakak .."
"Hei, Debo memintaku untuk menemani dan menjagamu .. Kalau kau memang menginginkan ingatanmu kembali, seharusnya kau harus berada dalam kondisi terbaikmu .. Mengerti, Aya ?"
"Oik, kak .. Namaku Oik .."
"Itu kan kata temanmu itu .. Itu pun kalau dia itu benar-benar temanmu .."
Gadis itu hanya menggembungkan kedua pipinya, pertanda kesal. Angin yang menatap mereka, tersenyum. Sungguh sasaran empuk baginya. Sedikit demi sedikit ia keluar dari persembunyiannya untuk menghampiri mereka. Tiba-tiba gadis itu menoleh ke arahnya, lalu tersenyum. Tak lama kemudian pemuda disampingnya ikut menoleh, hanya saja ia memejamkan kedua matanya sambil menghirup udara kuat-kuat sebelum menyuguhkan senyumnya. Angin merasa tersentak. Kali ini ia kalah. Ternyata masih ada yang menyambut kehadirannya dengan senyuman. Seperti yang ia janjikan tadi, saat ini juga ia akan pergi untuk menepatinya. Semoga kalian bahagia, bisiknya ketika melewati mereka yang memenangkan tantangannya.
Tak lama setelah angin pergi, gadis itu membalikkan badannya. Menatap pemuda dihadapannya dengan sedikit mendongak. Gadis itu tersenyum lebar. "Wangi ya ?"
Pemuda itu mengangguk mengiyakan. "Kau mau ?"
"Bolehkah ?"
"Tentu .. Aku juga belum sarapan .." jawab pemuda itu sambil melangkah mendahului gadis didepannya menuju toko roti.
Gadis itu tersenyum senang. Perlahan ia membalikkan tubuhnya dengan tawa lebar. "Kakak, tunggu aku !" ia berlari kecil untuk menyejajarkan langkah kakinya dengan pemuda itu untuk masuk ke dalam toko roti.
Selang beberapa menit kemudian, mereka keluar dari toko roti sambil membawa tas kertas coklat di masing-masing dekapan mereka. Dengan wajah berseri-seri, mereka menikmati aroma dan kehangatan yang timbul dari beberapa adonan yang dipanggang dengan suhu tinggi. Lezat, satu kata yang terukir di wajah mereka, atau mungkin perut mereka ? Apapun itu, yang jelas sekarang mereka tengah menikmatinya.
"Oik !!!
Satu nama yang terucap dari bibir pemuda dengan sepatu boot coklat itu cukup untuk membubarkan kenikmatan yang dirasakan pemuda disamping gadis yang dipanggil Oik. Adonan yang ada didalam mulutnya terasa hambar dalam sekejap.
"Hai, Deva .." sapa Oik riang.
Mereka saling mendekat, meninggalkan pemuda dengan setengah roti yang ia pegang. Perlahan mereka mulai menjauh. Pemuda itu hanya tertawa miris sambil menyeret kedua kakinya. Bagaimanapun juga, ia tidak suka menjadi obat nyamuk. Ia mendesah, "Hmm, apa boleh buat .."
***
Bola matanya terpejam sebentar. Menghirup udara dingin Desember yang tercampur dengan uap hangat dari dua gelas kopi yang ia beli di toko yang paling ujung. Harum aroma black coffee yang tercipta sungguh memanjakan penikmatnya. Ia memang tak salah pilih. Udara dingin memang sangat cocok dengan black coffee yang hangat dan harum.
Pemuda itu kembali membuka matanya. Kembali menatap pemandangan yang sama dari kejauhan. 'Iiish, sampai kapan mereka akan melakukan semua ini ?' batinnya. Ketika ia akan melangkah dengan tujuan menghampiri salah satu dari mereka, pada saat itu juga ia berhenti dan memutuskan untuk duduk dengan selisih satu bangku taman dengan mereka. Ia mendekatkan dua gelas black coffee ke hidungnya. Setidaknya aroma black coffee dapat menghiburnya. Setelah puas menghirupnya ia meletakkan salah satu gelas di sisi kirinya, lalu mulai menyeruput black coffee.
"Kakak .."
"Hkeck .. Uhuk .. Uhuk .."
"Kakak ! Kalau minum pelan-pelan !" ucap gadis itu sambil menepuk pelan punggung pemuda yang tersedak itu.
"Uhuk .. Uhuk .. Kamu .. Kenapa .. Uhuk .. Kesini ? Dimana temanmu itu ?"
"Deva pergi ke toilet sebentar .. Ehm, aku kemari karena ingin mengambil bagianku, Kak Obiet .." ucapnya enteng.
Obiet mendongak. Menatap wajah polos yang sedang tersenyum untuknya. "Memangnya apa bagianmu ?"
Gadis itu menggeser tubuhnya agak ke samping dan duduk tepat disebelah Obiet. Kemudian ia mengambil gelas black coffee. "Ini .. Ini bagianku kan ?"
"Apa maksudmu ? Ini kopiku .." ucap Obiet sembari mengambil kembali segelas black coffee dari tangan gadis itu. "Lagi pula dia sudah repot untuk membelikanmu teh hijau itu .."
"Tapi .. Kakak juga .. Kakak juga sudah repot .."
"Aku ? Repot apa ?"
Gadis itu mengambil kembali gelas black coffee dari tangan Obiet. "Kakak telah menjagaku sampai sekarang .. Apa itu belum cukup bukti ?"
Obiet memalingkan wajahnya dari gadis itu, lalu menggeleng pelan. "Sudah kewajibanku untuk melakukannya .." ujarnya lirih, hampir tak terdengar.
"Oik ! Kau disitu rupanya .. Ayo jalan lagi .. Ada tempat yang harus kau kunjungi .." ajak Deva sembari mengulurkan tangannya untuk menggapai lengan Oik yang tengah menikmati black coffee.
Oik mengangguk kecil. "Ayo .." ucapnya penuh semangat. "Ayo kak .." ia menarik sejumput lengan mantel hitam Obiet sambil tersenyum.
Mau tak mau Obiet menegakkan badannya dan kembali menjadi ekor dari dua manusia yang ada didepannya. Sungguh suatu kewajiban yang tidak menyenangkan. Mengapa pada saat itu ia ceroboh sehingga menyebabkan dirinya terkurung dalam kewajiban yang entah sampai kapan dapat terselesaikan ? Obiet mendengus kencang. Kewajiban ini adalah kewajiban terberat yang pernah ia pikul. Karena kewajiban ini adalah satu-satunya hal yang ia lakukan dengan hati.
Salju mulai turun ketika kaki mereka menginjak rerumputan lapangan yang terawat. Entah apa maksud pemuda itu menggiring gadis itu kemari. Apa mungkin tempat ini memiliki arti penting bagi mereka ? Ah, masalah itu bukan urusannya. Perlahan ia menyingkir. Mencoba menjaga jarak dengan mereka. Ia tak ingin mengganggu proses pemulihan ingatan gadis itu.
Dari sini ia bisa melihat kegiatan yang mereka lakukan dengan jelas dan mendengar sedikit percakapan mereka. Mereka yang tengah berada di jantung lapangan. Mereka yang tengah merentangkan kedua tangannya untuk menikmati salju. Mereka yang tengah tertawa bahagia disana. 'Mungkin sebentar lagi ingatannya akan kembali ..'
"Kak Obiet !! Ayo kesini ! Ayo main salju !"
Obiet hanya tersenyum sambil melambaikan tangannya. "Kalian saja .."
Gadis itu tampak agak kecewa. Ia menghentikan tawa renyahnya. Pemuda yang ada disebelahnya mulai mengambil alih. Ia menepuk pundak gadis itu sambil tersenyum. "Coba lihat apakah kau mengingat hal penting ini .." pemuda itu merogoh saku celananya dan mengeluarkan benda kecil berwarna abu-abu. "Oik, ingat yang satu ini ?"
Oik menatap benda kecil itu sangat lama. Keningnya bergelombang, tanda ia sedang berpikir keras. Perlahan ia menggerakkan tangannya untuk mengambil benda kecil itu.
"Kau ingat, kan ? Kau pasti ingat .."
Oik diam. Ia tengah menimang benda kecil itu.
"Benda itu yang ingin kuberikan padamu .. Kau ingat ?"
Oik tetap diam. Ia tetap mengamati benda kecil itu.
"Kau memintaku untuk membuatnya saat umur kita 9 tahun .. Kau ingat ? Pesta kembang api .. Kembang api yang membentuk bintang .. Kau ingat, kan ?!"
Oik menundukkan kepalanya sambil menggenggam benda kecil itu dengan erat.
"Kau ingat, kan ? Kau mengingatku, kan ? Oik, aku Deva .." ucapnya sambil mengguncang tubuh mungil Oik.
Oik semakin menunduk. Ia kembali mengaduk-aduk brankas data yang hampir kosong di otaknya. Deva. Dimana nama itu berada ?
"Oik, kau mengingatku, kan ?"
Oik tetap diam. Ia tak menemukan apapun di brankasnya. Tetapi ia tetap mencoba untuk mencarinya. Ia kembali membongkar brankas kosong yang semakin membuat kepalanya pening. "Maaf .." ucapnya lirih.
"Oik ! Cobalah mengingatku !"
"Aku sedang berusaha !" jeritnya.
Kepalanya semakin pusing. Rasanya semua semua brankas miliknya telah terbakar habis. Habis tanpa sisa.
"Ingat aku, Oik .. Kumohon .."
"HENTIKAN !" seru Obiet yang mulai muak dengan sikap Deva. "Sudah kukatakan berapa kali ! Jangan terlalu memaksanya mengingatmu !! Kau bisa membuat ingatannya benar-benar hilang !!"
"Kau tau apa ?!! Oik harus mengingatku !"
"Untuk apa dia harus mengingat orang sejenis kau ?!! Itu tak ada gunanya jika ternyata untuk mengingatmu saja dia merasa tersakiti !!"
"Kau yang tak mengerti !!"
"Terserah kau saja .. Aya, kau tak apa ?"
"Agak pusing, kak .."
"Ayo kita pergi dari sini .." Obiet membimbing Oik menjauh dari Deva yang tengah menatap Obiet tajam, seakan-akan ingin melahapnya.
'Siapa orang itu ? Dia bukanlah orang yang menolong Oik saat kecelakaan .. Tapi kenapa dia ada disini ?'
***
"Pakai ini .." perintah pemuda disampingnya.
Gadis itu mengangguk. Perlahan ia menyematkan rangkaian benang wol ke kepalanya. "Sudah, kak .." serunya sambil tersenyum.
"Bagus .." ujar pemuda itu. Ia menepuk pundak gadis itu dengan lembut. "Maaf, kakak harus pergi lagi .. Kakak janji, besok kita main .."
"Iya kak .. Tapi janji ya ?" gadis itu mengangkat kelingkingnya.
"Kakak janji .." pemuda itu mengaitkan kelingkingnya kepada kelingking gadis itu. "Pak Yamada akan mengantarmu pulang .. Ingat ! Jangan main keluar, jangan lupa makan, jangan main keluar, jangan lupa makan, jangan..."
"Iish, kakak ! Oik ingat kok .. Sudah sana .. Nanti kakak telat lagi .."
Pemuda itu tersenyum simpul. "Baik, kakak pergi yaa .." ucapnya sembari melenggak keluar dari Hyundai.
"Daah, Kak Debo !!" teriak Oik ketika Debo mulai menghilang tertutup gumpalan-gumpalan putih sedingin es. Sesegera mungkin Oik menutup kaca Hyundai, lalu merelaksasikan tubuhnya diatas jok belakang dan kembali berpikir. Tangan kanannya menjelajah jauh ke dalam saku mantelnya guna menemukan benda kecil itu. "Sebenarnya ini benda apa ?" ucapnya sambil meraba permukaan benda kecil itu. Ia menghela nafas panjang. "Kenapa bisa tak ingat ? Deva pasti kecewa .." perlahan ia mengangkat kepalanya. Menatap pemandangan dengan dominasi putih dari kaca depan Hyundai. Setiap orang di luar sana terlihat sangat menikmati guyuran gumpalan putih itu. Ingin rasanya ia berada di luar sana, bergabung dengan mereka. Tetapi kakak melarangnya bermain. Mungkin karena belakangan ini kepalanya sering terasa ingin meledak. Ia berdecak kecewa. Mengapa disaat yang menyenangkan ini, ia tak dapat menikmatinya ?
Hampir setengah jam Oik lalui dengan menggumamkan ribuan sinonim dari kata 'iri'. Tak ada kata lelah untuk menghujat iri setiap orang yang ada di luar sana. Setiap orang yang memakai mantel tebal di luar sana. Tunggu, ada satu sosok yang ia kenali. Mantel hitam, sepatu bot coklat dengan tali hitam, dan perawakan yang tegap seperti para tentara. "Kak Obiet ?" wajahnya semakin mendekat pada kaca Hyundai. Bahkan menempel. Oik menajamkan penglihatannya. Tak salah lagi. "Itu memang Kak Obiet ! Pak, tolong berhenti sebentar .."
"Baik .."
Tak lama kemudian Hyundai menepi. Oik sedikit menggeser tubuhnya mendekati pintu Hyundai sambil mengambil ancang-ancang membuka pintu Hyundai. KLEK.
"NONA !! JANGAN KELUAR !!"
Oik berlarian menembus tebalnya gumpalan putih yang semakin sering berjatuhan belakangan ini. Kedua tangannya mendekap erat tubuh munggilnya yang menggigil. Perlahan kecepantannya menurun. Giliran ujung kakinya yang berperan untuk mengendap-endap. Sesekali ia harus menyembunyikan diri dibalik tiang-tiang lampu sembari berlagak tidak memperhatikan pemuda yang tengah ia buntuti. "Aiih, hampir saja .." ujarnya sembari keluar dari tempat persembunyiannya dan mulai berjalan mengikuti siulet pemuda itu. Oik berhenti. Kepalanya berputar 90º ke kanan dan ke kiri, mencari pemuda itu. Nihil. Kini ia tengah berada di depan sebuah bangunan tinggi dengan pria berseragam merah yang sedang membungkuk, memberi hormat kepada setiap orang yang ingin melewati pintu otomatisnya. Oik menghela nafas panjang, kecewa.
"Kau mencariku ?"
Oik memutar badannya, mendongak sedikit, lalu tertawa. "Hehehe..."
"Ada apa ? Kenapa kau membuntutiku ?"
"Ehmm..."
"Alasan apa lagi yang akan kudengar .. Kesepian ? Bosan ? Debo meninggalkanmu ? Atau yang lain mungkin ?"
"Kak Obiet..."
Obiet tersenyum simpul. "Bercanda.." ucapnya sambil mengusap lembut kepala Oik. "Sekarang kau ingin main kemana ?"
Oik tersenyum senang. Pemuda didepannya ini selalu mengerti apa yang ia inginkan. "Ke rumah kakak .."
"Apa ? Apartemenku ??"
Dahi Oik terlipat. "Kakak tinggal di apartemen ?"
"I..iya .. Kenapa ?"
Senyum Oik kembali terkembang. Sedetik kemudian tangan Oik menarik lengan Obiet menuju bangunan tinggi tadi. "Ayo main di apartemen kakak !!"
"Apa ?!" jerit Obiet. "Tunggu ! Kau menyeretku kemana ?!"
Oik berhenti dan berbalik, menatap wajah kusut yang ada dihadapannya. "Kakak lupa ? Ini apartemen kakak, bukan ? Apartement Hundred Stay Shinjuku ?"
Kelopak mata Obiet melebar. Bagaimana gadis ini tahu letak tempat tinggalnya ? "Bagaimana.. Kau.."
"Kak Debo yang beri tau .." potong Oik. Ia kembali menarik lengan Obiet.
Obiet menahan lengan Oik. "Tunggu... Bagaimana kau yakin kalau bangunan ini adalah apartemenku ? Bukannya kau hilang ingatan ?"
Oik diam cukup lama, lalu menggeleng. "Aku juga tak tau..."
"Aish, sudahlah .. Jangan dipikirkan .. Mungkin dulu kau juga pernah ke tempat ini .." Obiet menatap Oik yang tengah menunduk dengan wajah memerah, karena terlalu lama berada di luar. "Sudah.. Kubilang jangan dipikirkan.. Ayo masuk.." ucapnya sambil menggenggam tangan Oik, membimbingnya masuk.
Hingga berada didalam gedung apartemen, tak sedikit pun Obiet mengendurkan genggamannya. Obiet semakin mempereratnya ketika lift apartemen mulai berjalan naik. Oik yang menyadari perubahan pada diri pemuda disampingnya, segera mendongak, menatap wajah pucat itu. Ketinggian. Mungkin hal itu yang membuatnya tak nyaman. Oik menghela nafas panjang, lalu melempar pandangannya ke angka digital yang ada diatas beberapa tombol. 6. Mengapa bisa setinggi ini ? 'Kalau kakak takut pada ketinggian, kenapa kakak memilih tempat tinggal yang tinggi ?' tanya Oik dalam hati. Ia menggeleng pelan. Mungkin ada banyak hal yang belum ia ketahui tentang pemuda ini. "Sangat banyak..."
"Apa ?"
"Eh... Nggak kok, kak.. Ehm, apartemen kakak di lantai berapa ?" tanya Oik mengalihkan pembicaraan.
"Yang paling atas.." jawab Obiet yang tetap menunduk dengan wajah pucatnya. TING. "Akhirnya..." serunya bahagia. Sedetik kemudian, Oik telah tertarik keluar akibat ulah tangan kokoh Obiet.
"Kak Obiet..."
"Ya ?"
"Ehm, boleh tanya ?"
"Boleh..."
"Kenapa apartemen kakak ada di lantai teratas ?"
Tiba-tiba Obiet berhenti. Terlihat jelas bahwa Obiet tengah menghela nafas lebih dalam. "Aku... Aku sedang berusaha untuk... Untuk menghilangkan traumaku..." Obiet tersenyum. "Kenapa kau tanyakan itu ? Khawatir ?"
"Bu..bukan begitu..." timpal Oik.
Sekali lagi Obiet menyuguhkan senyumnya. Kemudian ia menggerling genit. "Tak apa kalau kau tak mau mengaku sekarang.. Tapi, terima kasih ya, Aya..."
Oik menelan ludah. Tubuhnya sedikit bergetar. Perlahan ia merasakan genggaman tangan Obiet yang semakin erat. Getaran dalam tubuhnya menjalar dengan frekuensi yang lebih kuat. Hasilnya, Oik membeku tanpa adanya pendingin.
"Ayo.." Obiet kembali menarik lengan Oik menuju pintu disebelah kiri yang paling ujung.
Obiet berhenti. PRANG PRANG PYAR ! Bunyi yang timbul akibat tumbukan antara beberapa benda kaca dengan -mungkin- lantai, terdengar saling bersahut-sahutan didalam sana. PRANG PRANG PYAR ! Oik sedikit menggrenyit, menahan bunyi bising di telinganya. "Kakak ?" panggilnya sambil menatap Obiet yang tengah memandang jauh menembus pintu nomor 451 yang sedikit terbuka dengan wajah penuh amarah.
"Tunggu disini..." ucap Obiet sebelum melangkah masuk ke dalam ruang 451.
Di luar ruang 451, Oik berkali-kali menelan ludahnya. Memang benar kalau bunyi tumbukan tadi telah pergi. Tetapi tak lama kemudian bunyi yang lain datang. Dan kali ini lebih mengerikan.
"Sudah kubilang, kakak jangan ikut campur !"
Oik sedikit bergidik. "Itu suara Kak Obiet ?"
"KAKAK MAU KAU TURUTI KEMAUAN KAKAK ! BERHENTI MINUM, LALU BERTANGGUNG JAWABLAH ATAS PERBUATANMU !"
Oik menelan ludah.
"Kakak ingin aku bertanggung jawab ? Baik, ini bentuk tanggung jawabku..."
Hening sebentar. Perasaan Oik benar-benar tidak enak. Ada sesuatu yang aneh disini. Tetapi ia tak tahu apa itu. KLEK. Oik menatap sosok yang baru keluar dari ruang 451 dengan ekor matanya. "Kak Obiet ?"
"Maaf, tapi bisakah kau ikut aku ke dalam ?"
Oik mengangguk pelan, lalu meraih tangan Obiet yang terbuka. Obiet tersenyum. Kali ini bukan senyuman hangat yang terpeta diwajahnya. Melainkan senyuman pasrah, tak berdaya. Oik mulai melangkahkan kakinya melewati pintu ruang 451. Hangat. Kesan pertama ketika menatap ruang tamu versi mini dengan dominasi coklat soft. Oik tersenyum simpul. Ruangan ini benar-benar menggambarkan pemiliknya. Hangat dan menawan. Sayangnya kesan itu lenyap ketika ia menatap seorang wanita dengan mata sembap yang berada diantara pecahan botol-botol kaca. Oik mempererat genggamannya. Entah mengapa ia merasa ketakutan.
"Gadis itu... Dia... Dia yang kau..."
"Ya, kak... Dia orangnya..."
"Bagaimana kau bisa menemukannya ?"
"Itu tidak penting, kak.. Yang terpenting adalah ini bentuk pertanggung jawabanku.. Aku akan menjaganya, melindunginya, sampai ada suatu hal yang dapat membuatku berhenti untuk melakukannya.. Oleh karena itu, aku akan..." Obiet berhenti sejenak untuk mengalihkan pandangannya ke arah gadis disampingnya. Ia menghela nafas. "Aku akan menjadi kekasihnya.." ucapnya mantap.
"Apa ?! Kau tak bisa melakukannya ! Dengan sikap dan sifatmu yang seperti itu, kau akan membuatnya semakin parah !"
Obiet tersenyum sinis. "Kak Via, sudah berapa kali kakak berusaha menghentikan kebiasaan minumku ? Sudah berapa kali kakak memecahkan semua botol minuman kesukaanku seperti yang sedang kakak lakukan ? Apa ada hasilnya ?" Obiet mengangkat kedua alisnya. "Nihil.. Tak satu pun usaha kakak yang dapat merubahku.. Tetapi dia bisa.. Asal kakak tau, selama satu minggu ini aku berhenti minum.. Dan hal itu karena dia, bukan karena seorang residivis..." Obiet tersenyum penuh kemenangan. "Aya, kita pergi dari sini..." ucapnya sambil membimbing Oik yang sedari tadi hanya bisa diam kebingungan.
"Kakak ? Kita mau kemana ?" tanya Oik ketika mereka hampir sampai didepan lift.
Obiet tersenyum. "Aku sedang senang, jadi aku akan mengajakmu ke tempatku... Disana kau bisa bersenang-senang sepuasmu..."
Senyum Oik melebar. "Asyik... Aku suka kakak !"
***
“ aya masuk!” perintah obiet, tangannya dengan cepat membukakan pintu untuk sang gadis. Gadis itu mengangguk bersemangat.
Brum… brum…
Terdengar suara yang di timbulkan mesin mobil itu.
“kak, kita sebenarnya mau pergi kemana?” Tanya gadis itu, pemuda yang berada di sebelahnya menengok kearahnya dan tersenyum manis .
“nanti kau juga tahu.” Jawabnya singkat lalu kembali berkosentrasi pada jalan yang ada di depannya.
Sky line biru itu berhenti di salah satu bangunan yang beraksitektur menawan, banyak lampu yang berkelap-kelip disana, menambah indah bangunan itu. Gadis dan pemuda itu kini sedang berada di depan bangunan itu, memandang setiap beluk yang ada di bangunan itu, terlebih lagi gadis itu. Sejak tadi matanya tak henti-henti memandang gedung yang ada di depannya.
“kak, ini tepat apa?” tanyanya bingung. Pemuda itu tersenyum, lalu menarik tangannya agar gadis itu segera masuk ke dalam.
“kita masuk dulu nanti kau juga akan tahu.” Jawabnya.
___ bunyi diskotik ___
Terdengar suara berisik yang di ciptakan oleh sebuah pemutar music dengan volume yang tergolong kencang, di tambah lagi suara-suara teriakkan banyak orang yang sedang berjoget mengikuti irama dari music itu, lampu-lampu yang ada disana berkelap-kelip menyilaukan setiap mata yang melihatnya. Terlebih lagi gadis ini, ia terlihat bingung dengan suasana yang ada di sini.
“KAK INI TEMPAT APA?” Tanya gadis itu, suaranya sengaja ia besarkan, hingga pemuda yang menjadi lawan bicaranya mendengar ucapannya.
“INI TEMPAT FAVORITKU AYA!” jawabnya.
“AKU INGIN PULANG KAK!” pintanya, pemuda itu mengeryitkan dahi.
“KENAPA? KAU TAK SUKA DENGAN TEMPAT INI?”
“TEMPAT INI TERLALU RAMAI DAN BERISIK! AKU TAK SUKA SUASANA DISINI!” jawabnya, pemuda itu terlihat berfikir dan tak lama kemudian ia tersenyum manis.
“TUNGGU DISINI! AKU SEGERA KEMBALI” ujarnya, lalu ia pergi dan meninggalkan oik sendiri.
Beberapa menit setelah kepergian obiet, tiba-tiba music berisik –bagi oik- itu tak terdengar lagi di gantikan dengan suara yang tak lain adalah milik obiet.
“maaf untuk ketidak nyamanan ini! Karena ada sesuatu hal yang mendadak dan penting, jadi saya selaku pemilik club ini akan menutup club ini, untuk beberapa jam kemudian!” ujarnya. Pengunjung yang berada di club itu terlihat mengeluh dan satu persatu dari mereka meninggalkan club.
“ kakak, kenapa di tutup?” Tanya gadis itu ketika obiet menghampirinya.
“kau tak suka suasana seperti tadikan?” tanyanya, gadis itu mengangguk.
“maka dari itu aku tutup club ini.”
“tapi nanti kakak akan rugi.”
“hahaha. Hanya beberapa jam tak begitu berpengaruh. Ayo duduk.” Obiet kembali menarik tangan oik untuk menyuruhnya duduk.
“mau pesan apa?” tanyanya.
“terserah kakak. Apa yang kakak pesan aku ikut. Hehehe” jawab gadis itu, di iringi senyumnya yang khas.
"baiklah, kau tunggu sebentar disini." obiet menggeser bangkunya, dan melangkah menjauh dari oik.
Terlihat seorang pemuda yang sedang membawa dua gelas berukuran sedang didalamnya berisikan cairan berwarna orange.. Di pinggir gelas di hiasi dengan sebuah jeruk lemon.
"ini untukmu. Kau suka? Maaf hanya itu saja minuman yang bebas alkohol disini." jelasnya, lalu memberikan salah satu gelas pada gadis yang sedang duduk di hadapannya.
"aku suka kak. Makasih kak."
Terlihat seorang perempuan yang dengan tergesa-gesa memasuki club itu. Wajahnya merah padam, tangannya ia kepalkan, sepertinya ia ingin meluapkan semua emosinya sekarang, detik ini juga.
"OBIET!!!" panggilnya keras. Ya nama itu yang sedari tadi ingin ia ucapkan dan pemilik nama itu jugalah yang akan terkena luapan emosinya.
Pemuda yang bernama obietpun mencari sumber suara yang memanggilnya.
"aya, disini dulu ya. Kakak kesana dulu." pamitnya, kembali ia menggeser kursinya dan berjalan setengah berlari menghampiri sumber suara tadi.
"untuk apa kau ke sini?" tanyanya dingin, ketika ia sudah berada di depan pemilik suara barusan.
"apa kau sudah gila?!"
"gila? Maksudmu?"
"kau gila! Seenaknya saja kau menutup club ini!"
"jadi hanya itu permasalahanya, sampai sampai kau berteriak seperti orang gila?" lagi-lagi pemuda di hadapannya bersikap acuh tak acuh, ia menghela nafas sebelum ia menjawab pertanyaan sang pemuda.
"hanya?! Biet, ini club bersama! Kita berdua yang membangunnya! Dan apa yang kau buat? Ha?! Apa?
Seenaknya saja kau mengusir para pelanggan! Kita bisa kehilangan pelanggan biet!"
"pelanggan kita banyak. Tak akan hilang hanya karena persoalan sepele ini!"
"ok. Terserah, sekarang apa alasanmu menutup club ini? Apa?!"
pemuda itu terdiam cukup lama.
"apa karena gadis itu? GADIS YANG TELAH KAU TABRAK ITU?!"
"ANGEL! Berhenti kau bicara! Atau kau ingin aku yang menghentikan semua omongan tak berguna mu itu? Kau ingin?!"
"tapi aku benar kan? Gadis yang sekarang duduk disana, adalah gadis yang telah kau tabrak waktu itu?!"
"bukan urusanmu!"
"apa gadis itu tau bahwa kau telah menabraknya?!" lagi-lagi angel terus mendesak obiet.
"ia belum tahu dan tak akan pernah tahu!"
"kalau begitu biar aku yang memberi tahunya." ujar angel, ia melangkah pergi menuju meja dimana oik berada.
"berhenti ku bilang! Atau kau ingin nyawamu hilang ditanganku!" ancam obiet. Refleks angel menghentikan langkahnya, memutar tubuhnya dan menghadap ke arah obiet.
"kau ingin membunuhku?"
"tentu. Aku akan membunuhmu jika kau memberitahu semua itu padanya."
"tidak! Kau bercanda! Mana mungkin kau tega melakukannya padaku!"
"kau lupa latar belakang keluargaku? Kau lupa itu?!" tanya obiet, mata bulatnya kini telah menatap tajam ke arah angel.
"kau jahat! Kau benar benar jahat!"
"sekarang aku minta kau PERGI dari sini! Dan jangan pernah sekalipun kau mencampuri urusanku!" ujar obiet tegas. Angel mengangguk dan berlari pergi.
"maaf, tadi ada sedikit gangguan." ujar pemuda itu, lalu ia kembali duduk. Gadis yang ada di depannya pun mengangguk paham.
"yang tadi siapa kak?" tanyanya.
"orang yang tak di harapkan untuk datang." jawabnya singkat.
Hening.. Tiba tiba suasana menjadi hening. Tak ada yang berbicara sedikitpun. Sampai akhirnya pemuda itu memulainya.
"kau tunggu disini." ujarnya lalu ia melangkah menjauhi gadis itu.
Ting ting..
Terdengar suara lembut dari benda hitam besar itu..
Perlahan lahan terdengar suara indah nan lembut yang di padukan dengan suara dari benda hitam itu.
Toki wo tomete (Tolong hentikan waktu) -----> silahkan didownload :))
Isogu you ni natsu ga seiza tachi ga biru no tanima ni katamuite kakureteku.
(Seperti konstilasi di musim panas yang mendaki ke lembah bangunan dan bersembunyi dengan terburu-buru)
Toori sugiru bokura no mainichi, chippoke na koto de naki sou na toki mo aru.
(Hari-hari kita berlalu, ada kalanya kita hampir menangis karena hal kecil)
Itsuka kimi ga iki kagatte ita ano mise wa mou naku natte shimatta kedo.
(Misalnya, ketika toko yang ingin kamu kunjungi telah hilang)
Donna hi wo bokutachi wa futari koi wa owaranai to shinjite ita.
(Apapun harinya, kita percaya bahwa cinta kita tak 'kan usai)
Toki wo tomete zutto kimi no soba ni itai.
(Aku ingin menghentikan waktu dan selalu berada disampingmu)
Miageta sora negai komete.
(Di langit yang kulihat, aku mengajukan suatu keinginan)
Hitotsu hitotsu kagayaku hoshi tsunage nagara kimi no katachi sagashiteta.
(Menghubungkan bintang-bintang yang bersinar, satu per satu, meskipun aku selalu mencari bayanganmu)
Suki dayotte jouzu ni ienakute namuichigiwa de furueta osanai koi.
(Aku tak bisa mengatakan bahwa aku mencintaimu dengan lembut dan juga tentang cinta kita yang kekanak-kanakan saat berada di pantai)
Tadotadoshiku naranda me to me ga mabotaki sae mo oshii to kanjite ita.
(Kedua mata kita yang bertemu secara aneh adalah saat-saat yang terlalu berharga bahkan berkilauan bagi perasaan kita)
Suna ni kaita chikai wa sugu ni hiku nami ni sarawarete keite shimatte mo.
(Meskipun janji yang kita tulis di pasir hilang tertarik ombak)
Ano koro no bokutachi wa futari koi kawaranai to shinjite ita.
(Pada saat itu, kita percaya bahwa cinta kita tak 'kan pernah berubah)
Toki wo tomete zutto kimi no soba ni itai.
(Aku ingin menghentikan waktu dan selalu berada di sampingmu)
Motto kimi no daki shimetai.
(Aku ingin memelukmu lebih lama)
Hitotsu hitotsu kimi no koto wo oboe nagara eien dake shinjiteta.
(Kembali mengingat kenangan tentangmu meskipun aku hanya percaya pada keabadian)
Prok prok...
Terdengar suara tepuk tangan gadis itu. Ia tersenyum manis. Pemuda itu turun dari singgah sanahnya. Sedikit berlari menghampiri gadis itu.
"kau suka?" tanyanya. Gadis itu mengangguk senang.
"sangat suka! Suara kakak indah, permainan piano yang sangat menawan! Aku suka. Itu semua untukku?"
"bagus kalau kau suka. Anggap saja untuk permohonan maafku. Karena hari ini kau harus melihat dan mendengar yang tak semestinya kau lihat dan kau dengar." ujar pemuda itu. Refleks gadis itu memeluk pemuda dihadapannya.
"kakak sungguh baik. Terima kasih." ujarnya lalu melepas pelukannya. Pemuda itu terdiam sejenak lalu perlahan lahan menampakkan senyumnya ditengah wajahnya yang memerah.
"aya, kita pulang sekarang! Bisa habis aku dimarahi kakakmu itu." ujarnya. Gadis itu mengangguk, dan kali ini bukan pemuda itu yang menarik tangannya melainkan gadis itulah yang menarik tangannya.
"ayo kak. Sekali lagi terima kasih untuk hari ini." ujarnya lembut, lagi-lagi ia mengulum senyum. Entah sudah berapa kali ia tersenyum akibat ulah pemuda yang kini berada disampingnya.
*****
Brumm Brumm Ckittttttttt
Tampak dua orang pemuda turun dari mobil yang sudah terlihat sangat tua. Satu pemuda turun terlebih dahulu dan bergegas keluar meninggalkan pemuda satunya yang masih sibuk mematikan beberapa alat yang menyala di mobil itu.
Ting Tong
Dengan satu tekanan, terdapatlah sebuah bunyi dari dalam rumah yang cukup megah. Tapi belum ada sautan dari dalam, kembali pemuda itu menekan sebuah kotak kecil yang terdapat di samping pintu. Kembali bunyi itu terdengar.
Tampaknya ada seseorang yang sedang tergesa-gesa mendekat kearah pintu.
“eh deva dan rio, ada perlu apa malam-malam begini? Masuk dulu yuk, bibi buatkan minum” ajak seorang wanita tua mengajak mereka masuk
“makasih bi” ujar rio
Kedua pemuda itu kini sudah dengan posisi duduk rapi.
“debo belum pulang, kalau aya juga belum pulang dari tadi siang” jelas bibi
“oik namanya bi” pinta deva
“dari tadi siang? Memangnya dia kemana bi?” tambah deva dengan wajah kagetnya
“katanya lagi sama obiet”
Wanita tua itu pergi meninggalkan kedua pemuda yang sibuk dengan fikiran masing-masing. Deva tampak cemas dengan keadaan oik, ditambah oik sedang pergi bersama obiet, jika oik pergi bersama debo, deva tidak akan secemas ini. Entah kenapa deva tidak bisa mempercayai obiet, terdapat niat busuk dalam otak obiet. Apa tujuan dia mendekati oik…? Pasti ada udang di balik batu !!! batin deva
Deva semakin mendengus kesal, walaupun baru 10 menit dia berada dirumah itu tapi hawanya sangat panas. Padahal AC diruangan itu hampir mencapai minus, dan berulang kali pula dia meminta bibi untuk mengecilkan AC itu tapi tetap saja dia merasa gerah.
Sedangkan rio, dia hampir menggigil kedinginan berada diruangan itu. dia lebih memilih jalan aman. Rio keluar dari rumah itu dan duduk di teras halaman yang sudah dilengkapi beberapa kursi dan satu meja.
“akhirnya kau keluar juga, kita hampir seperti ikan beku dan itu semua karena kau” rio menatap tajam deva, bibir deva tampak pucat, terlebih lagi mukanya tapi kenapa dia berkeringat cukup banyak. Entahlah, ada yang aneh pada temannya. Baju deva sedikit basah didaerah punggung.
Deva berjalan gontai dan duduk tepat di samping rio. Wanita tua itu kembali membawa minum, karena minuman sebelumnya tidak cocok untuk suasana di luar.
“diminum, bisa menghangatkan tubuh.” Tawar bibi
“makasih bi” jawab rio
*****
“berhentilah tersenyum seperti itu” kata pemuda yang sedang menyetir, dia merasa aneh karena gadis mungil itu terus saja tersenyum kearahnya. Gadis mungil itu sekarang malah menggembungkan pipinya yang membuat gadis itu terlihat lucu.
“nah seperti itu lebih bagus” pemuda itu terkekeh
“kak obiet nyebelin akh, baru juga tadi dipuji” oik semakin menggembungkan pipinya
“kau semakin terlihat lucu” mendadak pipi oik merah merona
“kak, gadis di club tadi siapa? Pacar kakak?” mendadak oik memberanikan diri menanyakan pertanyaan yang sudah mengganggu pikirannya
“heh? Bukan dia bukan siapa-siapa aku, dia hanya iri dengan apa yang aku punya sekarang” jelas obiet, tapi oik masih tidak percaya apa yang obiet katakan, bagaimana mungkin perempuan itu iri sedangkan dari penampilannya saja itu tidak mungkin, di tambah lagi gadis itu di kawal oleh dua bodyguard di samping kanan dan kirinya, jadi mana mungkin dia iri sama kak obiet.
“sudah lah jangan kau pikirkan” kata obiet singkat dan memasang seulas senyum
“eh eh, kenapa nih mobil” obiet menepikan mobilnya dan melihat keluar dan benar saja ban depan mobil pecah
“kenapa kak?” tanya oik yang sudah berada di samping obiet, sedangkan obiet hanya menunjuk kearah ban yang pecah itu.
*****
“kau bisa tenang tidak?” teriak rio, dia sudah cukup kesal dengan tingkah laku pemuda yang ada dihadapannya, pemuda itu seperti benda berbentuk kerucut yang yang mondar-mandir layaknya setrika.
“bagaimana mungkin aku bisa tenang, kau lihat jam berapa, dan oik belum pulang” deva sedikit berteriak, benar saja jam ditangannya sudah menunjukkan jam 09.00
Rio enggan menjawab celotehan deva. Susah kalau sedang berhadapan dengan orang yang sedang emosi. Lebih baik kita yang mengalah. Deva dan rio hanya diam, mereka sibuk dengan fikiran masing-masing. Hingga sebuah mobil Sky line biru yang berada tepat di luar rumah debo terparkir. Dengan sigap deva berlari keluar untuk melihat siapa pemilik mobil itu. dia berharap itu gadis yang dia tunggu-tunggu, OIK. Dan benar saja seperti dugaannya, itu oik dan errrrrr obiet.
Deva tampak sinis menatap obiet, deva memang tidak suka dengan kehadiran obiet. Deva merasa obiet tidak suka kalau ingatan oik kembali, tampak jelas dengan sikapnya yang selalu berusaha menjauhkannya dari oik. Tapi deva akan menyelidiki ini semua.
“eh deva, sudah lama” gadis mungil bernama oik tampak kaget dengan kehadiran deva, dia tersenyum manis kearah deva
“sangatttttt lama” jawab deva dengan memperpanjang nada katanya sangat.
“kau dari mana saja oik? kau tidak sadar cuaca di luar sedang turun salju? dan kau sadar sekarang jam berapa?” bertubi-tubi pertanyaan deva yang membuat oik terkekeh
“kenapa kau malah ketawa? Aku sedang marah oikkk” deva meninggikan kalimatnya
“maafkan oik yah deva, tadi oik di ajak jalan-jalan sama kak obiet ke apartemen dan club miliknya” jelas oik
“kau keapartemen dan club?” tanya deva memastikan
“iya, jam 8 malam tadi sudah mau pulang tapi ban mobil kak obiet pecah” jelas oik, bukan itu yang deva heran, bagaimana mungkin oik ke apartemen dan club? Apa maksud ini semua
“kenapa kau mau keapartemen? Nanti kalau ada yang melihat kalian hanya berdua didalam pasti semua orang akan berfikir negatif oik”
“dan kau pergi ke club, aku tidak percaya ini” tambah deva
“rio, kita pulang aja” teriak deva berlari ke arah tempat mobil rio terparkir
“tapi… devaaa akuuu” oik bermaksud menjelaskan kedeva tapi tangannya di tahan obiet
“sudah lah aya, mungkin dia lagi emosi” jelas obiet
Deva yang melihat adegan obiet menahan oik semakin merasa kesal.
“kau lihat aja obiet, aku akan membuka kedokmu secepatnya” batin deva
*****
Kedua pemuda itu kini sudah berada didalam sebuah rumah. Tak ada waktu untuk membereskan beberapa barang yang terlihat bukan di tempatnya. Mereka sibuk dengan aktivitas masing-masing. Satu pemuda kini sudah terlelap tidur diatas bed yang sudah menciut, warnanya juga sudah terlihat sangat usang dan tak beralaskan seprai. Dia terbangun dan membongkar lemari mencari kehangatan untuk tubuhnya, entahlah hari ini dia merasa sangat dingin, di tambah lagi AC di rumah gadis bernama oik, cukup lama dia dan temannya menunggu di ruangan itu. tapi nihil hasil yang dia dan temannya dapat.
Sedangkan pemuda satunya lagi. Dia sedang memandangi handphonenya, apa yang sedang dia lihat? Sebuah foto laki-laki yang sedang memegang tangan gadis mungil bernama oik, yah siapa lagi kalau bukan obiet. Pemuda itu tampak geram setiap melihat foto itu, tapi entahlah apa yang membuat dia menjeprett adegan itu, dia berfikir ini akan bermanfaat.
*****
Blepppp Bleppp Bleppp
Satu gumpalan bola salju sesekali mendarat di jendela kedua pemuda yang sudah kelelahan akibat aktivitas yang berbuahkan nihil semalam. Dari luar jendela banyak kerumunan anak-anak yang asik bermain perang bola salju, tapi ada juga yang sibuk membuat boneka salju.
Salah satu pemuda bernama rio kini bangkit dari tempat tidurnya, dia tidak langsung membereskan tempat tidurnya tapi pemuda itu bergegas kekamar mandi dan dia berniat untuk mandi. Air hangat tentu akan menyejukkan badannya. Pemuda itu tampak segar setelah keluar dari kamar mandi.
“hoammmmmmm” pemuda lainnya menguap cukup lebar
“mau kemana kau rio?” tanya pemuda yang baru menguap itu
“aku mau kebengkel, mobil itu sepertinya perlu di service” jawab pemuda bernama rio
“aku ikut yah?” pinta deva
“tapi kau belum mandi deva, aku sedang terburu-buru”
“5 menit, okeh” tanpa menunggu jawaban rio, deva bergegas kekamar mandi dan tepat 5 menit deva keluar, apakah dia mandi? Yah mencurigakan.
Kedua pemuda itu sudah terlihat sangat rapi.
Pruttt Prutt Prutt
Dengan beberapa kali semprotan parfum bisa membuat pemuda yang mandi dengan jangka waktu 5 menit bisa sedikit wangi.
“heuhhh” rio menutup hidungnya ketika melewati deva
“kau kenapa?” tanya deva yang masih menyemprot bagian tubuhnya dengan parfum
“kau yang kenapa, pemborosan” ujar rio dan keluar dari kontrakan itu, sekarang rio berada di depan mobil kesayangannya karena itu peninggalan dari ayahnya.
“heyyy tunggu aku” teriak pelan deva yang sekarang sibuk mengikat beberapa kain kelehernya, yah walaupun matahari sudah menampakkan wujudnya tapi tetap saja cuaca begitu dingin
“cepat lah sedikit deva, kau ini lelet sekali seperti perempuan” teriak rio dari dalam mobil
Mobil yang akan di service itu berjalan dengan lambat.
“kau ingin menjual mobil ini?” tanya deva
“tentu tidak, ini peninggalan ayahku jadi mana mungkin aku menjualnya”
“aku hanya ingin memperbaiki mobil ini, mengganti beberapa bagian yang sudah cacat” tambah rio
Deva hanya membulatkan mulutnya. Sekarang rio focus menyetir mobil, kecepatan mobil mengurangi standar 10 km/jam. Sangat lambat !!!
Pemuda bernama deva kini memandangi handphonenya, tiap kali dia ingin membuka handphone pasti selalu teringat wajah pemuda yang sudah dengan lancang merebut gadis mungilnya.
“tunggu pembalas ku” batin deva geram memegang handphonenya, rio heran melihat tingkah laku deva
“kau kenapa, hah !!!” bentak rio
“bukan urusanmu” deva tak kalah berteriak
“DEVA mulai sekarang urusan kau adalah urusan aku juga, jadi apa yang ada di balik handphone kau, buruan kasih tau aku kalau kau masih menganggapku sebagai TEMAN” ancam rio
“sudah lah aku paling tidak suka berbagi kesedihan dengan orang lain, lebih baik kau focus menyetir” deva hendak memasukkan handphone kedalam saku celana tapi dengan sigap handphone deva diambil rio, rio tampak meneliti wajah siapa di balik handphone deva
“kau foto oik dan obiet tadi malam?” tanya rio
“yah” jawab deva singkat
“apa urusan kau foto mereka, bukankah itu membuat hatimu sakit?” tanya rio heran
“SANGAT SAKIT” tiba-tiba saja deva menggenggam kuat handphone dan membanting handphone itu kejok belakang mobil
“trus?” rio diam sejenak
“aku curiga sama obiet” jawab deva akhirnya
“curiga kenapa?” rio semakin tidak mengerti arah pembicaraan deva
“entah lah, aku memang tidak senang melihat oik dekat dengan obiet tapi bukan hanya itu aku merasa obiet tidak tulus menemani oik selama ini” jelas deva
“yah aku mengerti perasaanmu” rio menepuk bahu deva dengan pelan
“aku ingin menyelidiki dia” kata deva dengan tatapan sinis kearah jalan raya
“obiet maksudmu?” tanya rio tidak percaya, sedangkan deva hanya mengangguk
“yah terserah kau saja”
*****
Ckittttttttttt
Mobil rio terparkir tepat di depan montir yang sedang sibuk memperbaiki mobil yang berada di samping mobilnya. Mobil dengan ford merah, terlihat masih bagus. Kini mobil ford merah itu menepi dan di gantikan dengan mobil rio. Rio tampak sedang berbincang-bincang dengan montir yang akan memperbaiki mobilnya.
Deva terlihat sangat bosan, dia jenuh. Sudah 3 botol minuman dia habiskan. Kenapa dia ingin ikut rio kebengkel, entahlah, seperti ada yang menariknya. Rio masih sibuk dengan mobilnya, yah sepertinya akan lama. Deva kembali memutar pandangannya kesegala arah. Dia merasa tertarik dengan mobil ford merah yang berada sebelum mobil rio.
Deva tampak mengerutkan kening memandang sekeliling mobil itu, yah dari bentuk luarnya masih terlihat usang walaupun lebih usang mobil rio di banding mobil ford merah ini. Terpampang tulisan “DIJUAL” dengan jelas di jendela depan mobil itu.
“sepertinya aku pernah melihat mobil ini tapi tidak ada plat, Aneh !!! terlebih apa ini” deva memeriksa setiap sudut mobil itu, ada sedikit bercak darah terselip di mobil ford merah itu. “beku, apa mungkin ini darah?”
Seorang laki-laki berbadan tegap datang menghampiri deva yang terlihat sedang memata-matai mobil ford merah itu.
“apa kau tertarik ingin membelinya?” tanya laki-laki tersebut, dari penampilan laki-laki itu sepertinya dia pemilik atau manager bengkel ini.
“oh tidak tidak tidak, aku tidak tertarik dengam mobil seperti ini”
“hanya saja….” Deva tampak berfikir
“apa mobil ini dulunya milik seseorang?” tanya deva
“yah” jawab laki-laki itu singkat, deva tampak sedang merogoh saku celana dan hendak mengambil handphone miliknya
“apa dia orangnya?” deva menunjukkan sebuah foto dari handphonenya, laki-laki itu tampak heran dan menaikkan alisnya
“kau mengenalnya?” tanya laki-laki itu
“jawab saja pertanyaanku, apa dia orang yang mempunyai mobil ford merah ini?” tanya deva dengan nada sedikit lebih tinggi
“ya dia pemiliknya”
“apa kau mengenalnya?” tanya laki-laki itu lagi
“aku berharap tidak akan pernah mengenalnya, tapi dia telah masuk kedalam kehidupanku dan menghancurkan semuanya” nada deva sedikit bergetar
“kau membencinya?” tanya laki-laki itu
“SANGAT”
“kau pemilik bengkel ini?” tanya deva lagi
“yah aku pemilik bengkel ini”
“kenapa dia menjual mobil ford merahnya, apa dia memerlukan uang? Ku kira dia anak orang terpandang” tanya deva lagi
“aku juga tidak tahu, padahal dia sering memenangkan beberapa balapan dengan mobil sky line biru yang baru dia beli“ jawab laki-laki
“balapan liar loh” bisik pemilik bengkel itu
“balapan liar?” jerit deva pelan, obiet bukan saja pemilik club tapi dia juga sering balapan, bahkan menang.
“aku tidak percaya, bagaimana mungkin gadis mungil ku bisa bertemu dan mengenal sosok seperti obiet, lelaki brengsek” batin deva sudah mulai kesal
“apa mungkin lelaki yang menabrak oik…..” batin deva kembali membongkar brankar didalam otaknya
Ditemukannya kejadian masa lalu saat debo menceritakan ciri-ciri mobil yang menabrak, ford merah dan と 347 itu lah plat mobil itu tapi mobil ford merah yang ada dihadapannya saat ini tidak ada plat, pasti dia sengaja membuang plat mobil itu.
“kau tentu akan menerima mobil ini jika surat-suratnya lengkap bukan?” tanya deva kepada pemilik bengkel
“tentu”
“apa kau tau plat mobil ini”
“aku tidak tau tapi mungkin didalam suratnya ada nomor plat mobil itu, jika kau tertarik mari ikut aku” deva mengikuti pemilik bengkel itu
“aku berharap semua terbongkar, dan gadis mungil ku kembali padaku” batin deva
Pemilik bengkel tampak sibuk membongkar beberapa brankar yang ada didalam kantornya, dan ketemu.
“ini suratnya” pemilik bengkel itu memberikan surat tersebut kepada deva, deva tampak membaca setiap sudut kertas itu dan berharap menemukan nomor plat mobil itu
“と 347” deva terkejut saat membaca nomor plat mobil itu
“apa aku tidak salah” deva kembali meneliti dan tidak ada yang salah, dan benar nomor plat mobil ford merah itu と 347
“brengsek kau obiet, kebusukan mu terungkap, aku tidak akan membiarkan kau menyentuh oik lagi” deva kesal dan meremas kertas itu
“hey kau, aku sudah berbaik hati membantumu” teriak pemilik bengkel itu
“maaf , ceritanya sangat panjang dan pemilik mobil ford merah itu adalah PEMBUNUH” kata deva menekan kata pembunuh
“apa maksudmu? Aku tau dia anak liar, tapi apa mungkin dia membunuh orang” tanya pemilik bengkel tidak percaya
“dia, PEMILIK FORD MERAH と 347 itu telah menabrak temanku sampai temanku HILANG INGATAN”
“bolehkah aku meminta bantuan mu lagi?” tanya deva
“ya tentu, kalau itu bisa menyelesaikan semuanya” jawab pemilik bengkel itu
“bisa kah aku meminjam surat-surat ini sebagai barang bukti dan mobil itu? aku hanya meminjamnya satu hari dan akan aku kembalikan tanpa lecet” pinta deva, pemilik bengkel itu hanya menganggukkan kepalanya
Pemuda itu berjalan pelan menikmati dinginnya kapas putih itu. Sesekali tangannya ia tadahkan untuk merasakan lembutnya kapas putih itu. Bibir merahnya terus tersenyum, hari ini, ya hari inilah yang ia tunggu tunggu. Hari dimana kebohongan besar itu akan terbongkar. Dan hari ini juga ia akan mendapatkan gadis itu kembali.
'tunggu aku ik, aku akan segera menjemputmu. Dan menjauhkanmu dari pria kurang ajar itu!'
Rumah itu begitu sepi, tak ada tanda-tanda orang yang berada dirumah itu. Pemuda itu dengan sabar menunggu dibukakan pintu oleh sang pemilik rumah. Namun sudah berulang kali ia memencet bel rumah itu, tapi tetap saja sang pemilik rumah tak membukakan pintu itu.
15 menit
20 menit
25 menit...
Hampir setengah jam pemuda itu berdiri didepan rumah itu, ia lelah dan kedinginan. Bibirnya yang sedari tadi tersenyum, mendadak hilang, digantikan dengan bibir yang membiru. Cukup ia menunggu! Mungkin ini bukan saat yang tepat untuk membongkar semuanya.
Baru selangkah ia menjauh dari rumah itu, tiba-tiba terdengar suara decitan yang ditimbulkan oleh gesekan besi pagar dengan aspal itu.
"deva?" ujar seseorang dari belakang itu. Deva membalikan badannya dan menatap orang yang ada di depannya itu.
"kemana saja kau? Aku sudah mati kedinginan disini!" ujarnya geram.
"maaf tadi aku sedang berada dikamar mandi. Aku tak tau kau datang."
"sudah itu semua tak penting. Yang terpenting sekarang aku ingin bertemu dengan oik. Dimana dia?"
"aya? Dia sedang tidak ada. Ia sedang pergi."
"pergi? Kemana? Dia pergi dengan siapa? Dan oh ia satu hal lagi, nama dia OIK! Bukan AYA!" Ujar deva panjang lebar.
"aya. . Ops maksudku oik dia pergi bersama dengan obiet. Aku tak tau ia pergi kemana."
"apa kau bilang dengan obiet? Lelaki kurang ajar itu??" tanya deva kali ini nada suaranya meninggi, ntah kenapa setiap mendengar nama obiet ia seperti orang gila saja.
"iya dengan obiet. Kalau kau mau kau bisa menunggu didalam." ujar pemuda yang tak lain adalah debo. Tanpa mengucapkan apapun deva melangkahkan kakinya masuk kedalam rumah debo.
Berjam jam telah berlalu, namun gadis itu belum juga menampakkan dirinya, membuat pemuda ini resah. Berulang kali ia menghembuskan nafasnya. Berharap dengan cara itu semua yang ia rasakan lenyap begitu saja. Namun itu percuma! Perasaannya sekarang tak karuan, marah, kesal, sedih, dan penasaran. Ya itu yang dirasakan pemuda itu.
"deva." ya suara itu, suara yang telah ia tunggu sedari tadi. Dengan cepat ia berlari kearah pemilik suara itu, memeluknya erat.
"deva kenapa?" tanya gadis itu bingung. Deva melepas pelukkannya dan tersenyum manis kearahnya.
"ada yang ingin ku sampaikan. Aku ingin membongkar kebusukkan yang selama ini ditutup rapat." ujarnya sinis, ujung matanya melirik kearah pemuda yang selama ini menjadi rivalnya.
"maksud deva apa?"
"sudah nanti kau juga akan tahu!"
"hmm aya, aku pamit ya?" tak tahan dengan keadaan seperti ini pemuda yang berada disamping gadis itupun angkat bicara.
"iya kak. Terima kasih untuk hari ini." pemuda itu mengangguk, ia berjalan pelan namun belum jauh ia berjalan suara dingin itu menghentikan langkahnya.
"TUNGGU!" pemuda itu menengok. Ia memandang bingung pemuda yang selama ini menganggap dirinya adalah rival terbesarnya.
"kau dilarang pergi sebelum aku membongkar semua kebusukkan mu!" ujarnya sinis. Kedua pasang bola mata itu saling menatap satu sama lain. Memancarkan sinar kebencian yang begitu dalam.
"と 347 itu plat nomermu bukan?" pemuda itu memulai membongkar satu demi satu kebohongan yang telah lama tersembunyi. Obiet hanya diam memantung. Kini adrenalinnya terpacu. Apa hari ini semua kebenaran yang telah ia kubur dalam-dalam akan terbongkar? Secepat ini kah?
"mobil keluaran lama. Ford merah, itu mobilmu bukan? Mobil yang telah kau jual." pemuda itu terus mengeluarkan semua fakta demi fakta itu.
"kau menjual mobil itu karena kau takut semua kebusukkan mu terbongkar! Kau takut semua orang akan mengetahui bahwa kau lah yang menabrak gadis itu! Benar begitu?" pemuda itu terus memojokkan obiet. Sedangkan obiet ia hanya dapat diam. Ia tak tau apa yang harus ia katakan. Ya hari ini adalah hari dimana semua kebohongannya terungkap.
"a..ku.." ucapnya ragu.
"dan gadis itu adalah gadis yang telah berdiri disampingmu itu! OIK CAHYA RAMADLANI! Ya itulah gadis yang telah kau tabrak dan membuat ia menghapus semua memori masalalunya. Bukan begitu OBIET PANGGRAHITO??" lagi - lagi pemuda itu terus mendesak.
"kakak itu tidak benarkan? Bukan kakakkan yang telah menabrakku?" tanya gadis itu. Mata sipitnya kini telah di genangi cairan putih yang telah siap mendobrak keluar itu.
"ik, kau harus percaya padaku. Kalau kau tak percaya aku akan menunjukan bukti itu padamu." ujar deva menyakinkan. Matanya kini melirik kearah debo.
"debo, nomor plat itu berapa?" tanyanya.
"と 347” ujar debo cepat.
"lihat ini ik." ujar deva sembari menunjukkan surat-surat yang ia pinjam dari pemilik bengkel itu.
Oik melihat surat itu dengan detail.
Tak ada satupun informasi yang ia lewatkan. Mata sipitnya perlahan lahan membulat...
"ini tak mungkin. Bukan! Bukan kak obiet yang menabrakku! Bukan!"
>>>>>>>>>>>>>>
Created by:
Aniza yanuriska wardani
Debpi zulpiarni
Adisti Natalia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar