Part 2: Kebenaran itu berkabut.
Kosong. Hampa. Apapun itu, yang jelas sekarang mereka tengah mengamuk didalam dirinya. Menguasai tiap alur perjalanan impuls menuju otaknya. Memenuhi sebagian besar alveolus miliknya, hingga satu tarikan nafas terasa seperti satu siksakan untuknya.
"AAAARRGGGHH !!"
Tiap urat nadi disepanjang lehernya menegang. Membentuk lekukan yang tak berpola. Abstrak, tetapi tegas. Meliuk dengan manis disepanjang jalur yang tersedia. Memaksa permukaan kulit untuk menampakkan lajurnya dengan tegas.
"AAAARRRRGGGHH !!"
Ini bukan sebuah permainan. Bukan sekedar petak umpet atau pun kejar-kejaran. Ini terlalu nyata untuk dikatakan sebagai sebuah permainan. Bahkan terlalu mengerikan untuk dimainkan dua remaja yang akan memasuki kepala dua. Ini bukan permainan ! Ini kenyataan ! Kenyataan pahit !
"AAAAARRRRGGGHH !!"
Panas. Tubuhnya mendidih. Membuat adrenalin terpacu untuk melesat cepat, meninggalkan sarangnya. BOOM ! Adrenalin itu meledak. Suaranya terdengar hampir bersamaan dengan sisa rintihan dari pecahan botol-botol parfume yang seharusnya tetap utuh diatas meja rias yang bukan miliknya.
"AAAAAARRRRRGGGGHHH !!"
Bukan main sakitnya. Itu sebabnya ia meremas berhelai-helai rambutnya untuk mengurangi benturan aliran darah pada dinding nadi didaerah kepalanya yang semakin mengamuk. Tidak. Mengapa disaat seperti ini otaknya berhenti berpikir ? Mengapa disaat segenting ini ia tidak dapat menemukan orang yang menyebabkan kekosongan pada benaknya sampai saat ini ? Mengapa ?!!
"OOOIIIKKK !"
Ah, nama itu lagi. Sepuluh ? Seratus ? Seribu ? Entah sudah berapa kali nama itu terucap dari bibirnya. Entah sudah berapa kali ia meraung-raung didalam kontrakan kecil milik si empunya nama itu. Entah sudah berapa kali ia berteriak menagih janji yang telah ia buat dengan pemilik nama itu. Ya, ia seperti orang gila didalam sebuah kontrakan pemilik nama itu yang kosong dan berantakan akibat ulahnya.
"DEVA CUKUP !!" perintah seorang pemuda yang tengah berdiri diambang pintu dengan nafas tersengal-sengal.
Deva ? Ya, itu namanya. Ia tidak terlalu gila untuk mengingat namanya sendiri. "Apa ? Apa maumu ?"
"Mauku ?? Pergi dari sini dan berhenti berlagak seperti orang gila !!"
"Apa ?"
"Dengarkan aku ! Berteriak-teriak dan menghancurkan isi kontrakan Oik, bukanlah jalan yang tepat untuk menemukannya !!"
Menghancurkan isi kontrakan Oik ? Apanya yang menghancurkan ? Kabut dimatanya perlahan menghilang dan menampakkan sorot tajam yang khas darinya. Perlahan sorot mata itu menumpul. Seolah ada medan magnet yang menarik kelopak matanya ketika mencoba menyusuri setiap sudut ruangan baby blue itu.
"Kenapa .."
"Berantakan ? Itu yang ingin kau tanyakan ?"
"Ak..aku, karena aku .." ucapnya sambil menatap nanar semua barang yang berserakan dilantai.
"Ya, karena kau .. Karena tindakan bodohmu itu .. Kau pikir ketika Oik kembali pulang, dia akan senang jika melihat tempat tinggalnya berantakan ? Lagi pula sudah hampir tiga hari kau ada disini .."
"Apa ? Tiga hari ?!"
Pemuda itu berdecak kecewa. Temannya ini benar-benar telah keluar dari ambang batas kesadarannya. "Awalnya kupikir kau pulang ke rumah setelah memastikan keberadaan Oik disini .. Tetapi aku salah .. Kau malah menunggunya disini sambil melakukan hal-hal bodoh .."
"Rio cukup ! Kau tak tau bagaimana perasaanku !"
"Justru karena aku memahamimu, aku mengerti apa yang terbaik untukmu ! Sekarang bukan saatnya berlagak menjadi orang gila didalam sini .. Kita keluar dan coba mencarinya lagi .. Setuju ?"
Pandangannya tertuju pada satu titik, kedua ibu jarinya yang bertindihan. Tetap seperti itu sampai akhirnya ia memindahkan pandangannya kepada seseorang perempuan dengan rambut panjang yang tengah berjalan kesana kemari dihadapannya. Perempuan itu tampak kesal dan marah. Sekali lagi karena ulahnya. Tetapi ia tak peduli. Benar-benar tak peduli.
Perlahan ia memejamkan kedua matanya yang lelah akibat terjaga dua hari ini. Menghirup nafas lebih dalam, lalu menahannya sebentar untuk merasakan degup jantungnya yang belum juga teratur sebelum kembali menghembuskannya. Ia menelan ludah.
******
'.. aku melihatnya ..' suara pemuda di rumah sakit itu menggema didalam otaknya. '.. Ford merah keluaran lama yang sudah dimodifikasi ..' suara itu kembali terdengar. '.. と 347 itu plat nomornya ..' kali ini bukan hanya suara, melainkan seluruh ekspresi dan anggota tubuh si pemilik suara itu keluar dari rak penyimpanan data untuk mengingatkannya kembali.
'.. kau berniat menjualnya ?' kini suara pemuda itu terdengar lebih berat. Tetapi semakin lama kulit pemuda itu mengelupas seperti ular yang berganti sisik. Terus mengelupas hingga paras pemuda itu digantikan oleh paras keriput dari seorang pria paruh baya yang tengah meminta penjelasan. '.. kau telah merombaknya dengan bagus, tetapi untuk apa kau menjualnya ?' pertanyaan pria itu kembali diperdengarkan dengan jelas.
"KENAPA KAU MENJUALNYA ?!!" suara seorang perempuan tiba-tiba menyahut. Kali ini bukan rak penyimpanan datanya yang mengeluarkan suara perempuan itu. Ini nyata.
"Apa peduli kakak ?" sahutnya sembari menatap perempuan dihadapannya tanpa rasa bersalah.
"TENTU KAKAK PEDULI !! KENAPA KAU MENJUAL FORD PENINGGALAN AYAH ?! KALAU KAU SEDANG BUTUH UANG, KENAPA KAU TIDAK MENJUAL SKY LINE MILIKMU ?! TENTUNYA HARGA SKY LINE LEBIH TINGGI DARI PADA FORD ITU !!"
Ia menghela nafas panjang, lalu perlahan berdiri dan melangkah menuju pintu keluar. "Suka-sukaku .. Mobil itu hakku .. Jadi kakak tak perlu ikut campur .."
"OBIET ! MOBIL ITU PENINGGALAN AYAH ! KAU TAK BOLEH MENJUALNYA !!"
Obiet berhenti, lalu tersenyum sinis. "Apa hak kakak melarangku ? APA HAK SEORANG PEMBUNUH TERHADAP BARANG PENINGGALAN ORANG YANG DIBUNUHNYA !!"
BUK ! Sebuah bogem mentah mendarat mulus pada pipi kiri Obiet.
"KETERLALUAN !! DIMANA OTAKMU ?!! DIA ITU KAKAKMU !!" bentak pemilik tinju sambil mencengkram T-shirt Obiet.
"Cih .. Lalu apa yang ingin kakak ipar lakukan ? Membunuhku ?" tantang Obiet sambil meringis menahan nyeri di ujung bibir kirinya.
"YA ! AKU AKAN MEMBUNUHMU JIKA KAU TERTANGKAP BASAH, KEMBALI BERSIKAP KASAR PADA KAKAKMU !!"
Obiet memperlebar senyumnya. "Bagaimana kalau kakak ipar lakukan sekarang ?"
Wajah kakak iparnya memanas. Kelopak matanya melebar. "Kau .."
BUK !
"GABRIEL !! HENTIKAN !!" ucap sang kakak sambil berusaha menghentikan pukulan ketiga dari pasangannya untuk adiknya.
"Via ! Kau tak bisa membiarkan berandalan ini menghukummu seenaknya !"
"Jangan pukul dia lagi .. Kumohon .." ucapnya sambil menarik lengan kanan Gabriel menjauh dari Obiet.
Gabriel mengendurkan cengkraman pada T-shirt Obiet, lalu mendorongnya sekuat tenaga hingga tersungkur dan menghantam meja kecil disudut ruangan. "Kau akan kuawasi ! Jangan main-main denganku ! Ingat itu, Obiet !"
"Gabriel .."
"Vi, kau tak seharusnya memanjakan berandalan ini .."
"Tapi .."
"Kakak ipar benar .. Kakak tak perlu memanjakanku .. Akan jauh lebih baik kalau kakak tak mempedulikanku lagi .. Karena kakak ipar yang galak ini akan selalu memarahimu .. Jadi sebaiknya kakak keluar dari apartemenku .." ucap Obiet sembari menegakkan tubuhnya.
Gabriel kembali melebarkan kelopak matanya, menggepalkan kedua tangannya kuat-kuat untuk menahan ledakan emosi. "KAU INI .."
"Anak yang tak tau diri ? Ya, ya, ya .. Itu sering kakak ipar katakan untuk membela residivis itu .."
"OBIET !! KAU BENAR-BENAR INGIN MATI ?!!"
"Ya, jadi bunuh aku sekarang juga .. Bukankah kakak ipar menginginkan gelar pembunuh untuk menggantikan gelar doktor didepan namamu itu ?"
"KURANG AJAR !" Gabriel kembali mencengkram T-shirt Obiet. Menatap lekat ekspresi tak berdosa itu. "KAU BENAR-BENAR ANAK YANG TAK TAU DIRI !! KUBUNUH KAU !!!" Gabriel menarik kepalan tangannya menjauhi wajah Obiet, lalu melepasnya dengan seluruh sisa tenaganya.
"GABRIEL HENTIKAN !!" Sivia menjerit histeris sambil kembali menahan lengan kokoh dokter itu.
"VIA, LEPAS !!"
"Gabriel, kumohon .. Jangan .." bisik Sivia sambil menahan air matanya yang kembali mencoba mendobrak keluar.
Tak tahan menatap mimik wajah pasangannya yang pucat, Gabriel mengendurkan setiap ototnya. Obiet kembali terlepas dari cengkraman Gabriel yang kini kembali menyorot matanya dengan tajam setelah menatap kakaknya. "Kau .." Gabriel diam sejenak untuk mengatur temperatur emosinya. "Kakakmu memang seorang residivis .. Tetapi dia menjadi residivis untuk mempertanggung jawabkan perbuatannya .. Dan kau ? Tak lama lagi kau akan menjadi buronan meskipun kau telah menjual Ford itu .. Hahaha .. Obiet, satu saran dariku .. Akui perbuatanmu sebelum perbuatan itu mengakui keberadaanmu .." Gabriel tersenyum puas setelah menatap tetegangan disetiap syaraf pada wajah Obiet. "Via, kita tinggalkan sarang buronan ini .." ucapnya sambil menggenggam tangan Sivia menuju pintu keluar, meninggalkan seorang buronan didalam penjara kesunyian.
******
Brummm Brumm Brumm
Sebuah mobil yang kelihatannya jadul kini parkir tepat di depan kios sebuah café yang cukup elegan. Dua pemuda tampak bingung melihat sekeliling, café terlihat begitu ramai. Dua pemuda ragu untuk turun kesana, tapi perut mereka yang selalu melakukan demo. Dan dua pemuda itu memutuskan untuk turun. Dua pemuda itu mulai celingak celinguk memastikan masih ada bangku kosong untuk mereka.
Pandangan dua pemuda itu berbinar saat dua orang pasangan yang bisa di bilang lagi di mabuk asmara hendak bersiap-siap keluar. Satu pelayan datang, sepertinya sedang memberikan bon. Dan dengan bergegas dua pemuda yang sudah seperti orang kelaparan duduk dengan manis di kursi tadi. Terlihat dua piring sop daging dan satu jus stowberry satu gelas kopi susu masih berantakan di meja yang dua pemuda itu duduki.
Dua pelayan datang menghampiri dua pemuda itu, satu pelayan sibuk membereskan meja dan satu lagi memberikan penawaran mengenai makanan disini. Dua pelayan yang sangat ramah, wajar saja kalau café ini sangat ramai.
Meja sudah rapi dan bersih, dan dua pemuda itu seperti sudah memutuskan pesanan mereka.
Satu pemuda menghentakkan jari-jari kemeja itu pertanda dia bosan, satu pemuda lagi entah kemana.
“dari mana saja kau bodoh” rio terlihat kesal dengan deva yang selalu saja menghilang tanpa jejak
“OIK !!!” rio sudah terlalu sering mendengar oik lagi oik lagi
“kita sudah keliling 10 x kali mencari gadis pujaanmu itu, aku lelah deva”
“sekarang biarkan aku mengisi perut yang kosong ini” rio begitu lunglai, dia sangat letih jika harus duduk di bangku mobil selama 5 jam, dia merasakan panas di daerah bokongnya
“tapi…” baru saja deva mau menyambung kalimatnya, pesanan mereka sudah datang
Rio dengan tidak sabar segera melahap makanan yang ada di depannya tanpa memperdulikan tatapan orang yang aneh melihatnya
“apa mereka tidak pernah melihat orang kelaparan, sama bodohnya dengan kau deva” batin rio tapi rio terus asik dengan makanannya
Deva dengan malas ikut melahap makanannya.
1 sendok
2 sendok
3 sendok
Entah berapa sendok makanan masuk kedalam mulut rio, dalam waktu lihat menit sudah kosong piring rio sedangkan deva mungkin satu sendok belum ada dia makan.
“kau tidak berubah yah” seorang pemuda menepuk bahu rio, rio kaget dan menoleh siapa yang dengan lancang menepuk bahunya, deva hanya mengangkat muka dan kembali menatap nanar makanannya
“de.. debo yah” pemuda yang merasa namanya di panggil tersenyum lebar dan dengan sigap memeluk rio
“kau, apa benar ini debo sahabat ku yang bodoh dan sama bodohnya dengan dia “ rio tampak tidak percaya sahabat kecilnya kini menjadi orang yang sukses, semua itu dapat di lihat dari pakaian yang di gunakan debo. Deva yang merasa di tunjuk rio segera bangkit dan meninggalkan makanannya
“cukup kau memanggilku bodoh” wajah deva membara layaknya seperti harimau yang mau menerkam lawannya
“aku bercanda sob, sudah lah kau kembali saja makan, hari sudah mulai larut dan cuaca juga sepertinya kurang bersahabat”
Cuaca malam itu memang cukup buruk, angin dengan kencangnya menghembus apa saja yang menghalangi dia untuk lewat. Di luar tampak mulai sepi, sudah mulai berkurang kendaran yang terparkir di depan café.
Kedua pemuda yang sudah tak lama bertemu itu mengobrol banyak, deva masih dengan posisi awal hanya mengaduk-aduk makanannya.
“kau membuka café sekarang? Kalau ada lowongan bisa kan teman lama mu nih nyelip satu” rio dengan candanya membuat debo terkekeh
“café ini bukan punya ku, aku hanya di minta menggantikan kakak untuk melihat café ini selama 1 bulan, membosankan” debo melengos pertanda dia tidak senang dengan pekerjaan barunya
“nikmati aja sob, selagi bisa” rio menepuk-nepuk bahu debo memberikan semangat, rio kembali menoleh deva. Dan deva tetap masih dengan posisi awal
“de, aku sama makhluk bodoh ini pulang dulu yah kapan-kapan aku makan ke sini lagi tapi GRATIS” pemuda itu menekan kata gratis yang membuat debo semakin terkekeh
“Bisa di atur kok, tapi kau menggantikan posisi sebagai cuci piring yah” kata-kata debo tadi membuat rio jengkel setengah mampus
“eh tunggu, kau mau main kerumah ku, ini rumahku bukan rumah keluargaku” debo memberikan selembar kartu namanya dan lengkap dengan alamat nomor telepon
“sombong sekali kau sudah ada kartu nama, okeh tidak masalah tapi aku membawa orang bodoh ini tidak apa?”
“ nggak masalah”
Satu pemuda kenyang dan satu lagi entah lah apa dia memasukan makanan ke mulutnya
“teman kau benar-benar bodoh rio” debo terkekeh melihat makanan deva yang masih utuh, hanya bentuk nya saja tidak enak di lihat
******
Taman Hiburan....
Suasana ditaman ini begitu ramai. Banyak orang yang berlalu lalang disini, suara suara bising yang di sebabkan oleh teriak teriakan histeris dari semua orang yang berada disini.
Pemuda itu terdiam sejenak. Dalam hatinya ia menyesal mengajak gadis ini datang kemari. Heu dia benar benar tidak suka suasana seperti ini. Ramai dan bising.
"kak, kita main itu yuk." tunjuk gadis itu. Wajahnya sejak tadi menggambarkan ke gembiraan.
Pemuda itu melihat arah yang di tunjuk gadis itu. Ia mengerutkan keningnya bingung.
"eh? Main roda raksaksa itu." ujarnya ragu.
"hehehe. Kakak lucu, itukan namanya biang la la. Aku sering menaikinya." gadis itu tersenyum manis.
"dari mana kau tahu? Bukannya kau hilang ingatan?" lagi lagi pemuda itu di buat kaget dengan perkataan gadis itu.
"aku juga tidak tahu. Tapi sepertinya aku sering menaiki biang la la itu."
"oh.."
"ayo kak, kita naik."
dengan langkah ragu pemuda itu mengikuti langkah gadis itu.
"eh, tunggu.. Hmm kau saja yang naik aku tunggu disini, bagaimana?" ujar pemuda itu ragu. Gadis yang berada di depannya mengeryitkan dahi.
"loh? Kenapa kak? Kau tak suka dengan permainan itu?" ujarnya bingung.
"hmm, mungkin. Aku kurang suka jika harus berhubungan dengan ketinggian."
"ya padahal asyik loh kak. Dengan menaiki permainan itu kita bisa bersatu dengan langit." ujar gadis itu riang.
"tapi kalau kakak tidak mau, yasudah kita cari permainan yang lain." lanjutnya. Tapi kali ini gadis itu merubah mimik mukanya, ia tak lagi tersenyum. Melainkan pipinya yang chuby kini ia gembungkan.
"eh? Tidak! Aku tidak pa pa! Asal kau senang aku pasti senang."
"benarkah?"
"tentu."
Roda raksaksa kini telah berputar. Membawa seorang pemuda dan seorang gadis pada puncak paling atas dari roda itu.
"kak, lihat bintangnya banyak ya kak!" tunjuk gadis itu pada sebuah langit malam yang bertaburan bintang itu.
Lain hal dengan pemuda itu, mukanya pucat, ia terus mengeluarkan keringat dari setiap pori porinya, matanya ia tutup rapat, ntah mengapa saat ini ardenalinnya terpacu.
"kak?" sapa gadis itu bingung. Perlahan lahan mata pemuda itu terbuka.
"ya?" suaranya terdengar seperti orang ketakutan.
"kakak kenapa? Sakit?"
"aku? Tidak! Aku tidak sakit!"
"lalu? Kenapa muka kakak pucat?"
"eh? Itu anu... Seperti kataku tadi aku kurang suka dengan ketinggian."
"maaf." ujar gadis itu.
"untuk?"
"membuat kakak seperti ini."
"oh. Bukan salahmu kok. Aku memang sedikit takut dengan ketinggian, karena..." perkataan pemuda itu terhenti. Tiba tiba ingatannya mengulang semua kenangan kelam masa lalunya. Ya layaknya filem yang sedang di putar ulang.
"karena apa kak?"
"Tidak! Tidak penting! Hmm sepertinya kau suka langit dan bintang ya?" tanya pemuda itu.
"sangat suka! Ntah kenapa bagiku bintang itu sangat indah dan bintang punya kenangan tersendiri untukku."
Selesei bermain 'roda raksaksa itu' pemuda itu kembali mengajak sang gadis untuk bermain di sebuah kios.
"kau suka bintang kan?" tanya pemuda itu. Gadis itu menganguk bersemangat.
"kalau gitu aku akan memberikan bintang itu padamu." pemuda itu menunjuk sebuah boneka bintang yang terpajang di kios permainan itu.
1 kaleng
2 kaleng
3 kaleng.
Yups pemuda itu berhasil menembak sasaran dengan tepat. Sehingga membuat kaleng kaleng itu terjatuh semua.
"ini untukmu. Sesuai janjiku." ujar pemuda itu seraya memberi boneka bintang untuk gadis itu.
Gadis itu terdiam sejenak, memandangi boneka bintang yang akan di berikan pemuda itu. Ntah mengapa sepertinya ia tidak merasa asing dengan perjanjian seperti ini.
"hei? Kok diam?"
"eh? Makasih kak. Kau sangat baik padaku."
"aku tidak sebaik yang kau pikirkan kok." 'karena akulah yang menyebabkan kau seperti ini.' lanjut pemuda itu dalam hati.
"tidak! Kakak sangat baik! Aku senang berkenalan denganmu."
Gadis mungil itu terlihat sangat senang. Tapi mimik wajah berubah sendu ketika obiet mengajaknya pulang. Pemuda itu berharap sebelum debo pulang, aya harus ada di rumah. Aku tidak mau dia bertanya yanga aneh-aneh, seperti detektif saja sifatnya.
“kita pulang yah aya, sudah malam . aku tidak enak sama kakakmu tapi kakak janji suatu saat nanti kita pergi kesini lagi yah” pinta obiet di ikuti wajah ceria aya
“janji yah kak” aya memberikan kelingkingnya kepada obiet, dan obiet mengerti apa maksud gadis mungil ini.
******
Dua pemuda tampak sedang merapikan baju mereka. Bau mereka juga sangat wangi, tapi sepertinya hanya satu pemuda saja yang sibuk.
“hey lelaki bodoh, ayo lah temani aku” pinta rio memelas sama deva yang masih dengan malas memakai kancing baju satu demi Satu
“tapi kita cari oik dulu” ekspresi wajah rio tampak mencekam, dia sudah terlalu bosan mendengar satu wanita itu itu saja
“kau begitu merindukannya sampai tidak bersemangat seperti ini” deva hanya memandang kosong kearah rio
“okeh tapi setelah kau menemani ku kerumah teman lamaku, aku tidak enak sama dia yang sudah mengundangku tapi aku tidak datang, aku tidak mau di cap sebagai kacang yang lupa kulitnya” ekspresi wajah deva kembali berbinar, dia tau rio teman yang bisa di andalkan
Dua pemuda itu kembali menghidupkan mobil yang sudah tidak layak pakai itu. Entah kenapa rio tak mau menjualnya atau sekedarnya menukar dengan mobil zaman sekarang
Brum brum brum
Baru saja akan hidup mobil butut ini kembali mati. Sepertinya dia memang harus masuk museum.
“kenapa rio?” deva menatap heran rio yang sedang kesal
“disaat penting seperti ini kenapa kau bertingkah, buat repot saja mobil butut” rio menendang ban mobil ini dengan keras
“batalkan aja deh?” tanya deva yang membuat rio semakin jengkel
“aku sudah berdandan rapi seperti ini kau bilang batalkan, aku tidak mau, kita cari bis” rio menyeret tangan deva dan dua pemuda itu menunggu di persimpangan jalan yang sudah lumayan sepi
Deva hanya melengos kesal dengan rio. Se begitu pentingnya teman lamamu itu di banding aku.
Wajah rio berbinar saat bis berdiri di depan mereka. Dengan sigap dia menarik tangan deva dan masuk ke dalam bis.
Bis itu terlihat sama butut dengan mobil yang di campakan rio tadi tapi masih terlihat lebih tua mobilnya.
Dua pemuda itu berhenti di rumah yang lumayan elegan. Wajar sajalah debo mempunyai rumah semewah ini.
“apa kau tidak salah alamat rio?” tanya deva menyakinkan kalau mereka tidak salah masuk rumah.
Rumah kecil itu terlihat unik. Disisi pagarnya hanya beralas tembok dan sisi tengah tembok itu terukir besi-besi yang entah berbentuk apa tapi itu sudah terlihat sangat mewah.
Rio ragu memencet bel, dia kembali memastikan rumah yang akan mereka masuki adalah rumah sahabatnya debo.
“tidak salah deva, nomor 13 dan kau lihat itu terpampang jelas angka 13” deva hanya mengangguk-angguk saja pertanda kalau itu benar alamatnya
“ya sudah apalagi yang kau tunggu,cepat pencet bel nya setelah itu kita kembali mencari oik”
Dengan ragu rio memencet bel satu kali. Pintu pagar terbuka, dan tampak perempuan tua berusaha keras membuka pagar itu
“ada apa mas?” tanya perempuan tua yang sedang mengusap keringatnya
“apa betul ini rumah debo bu’ tanya rio sopan, perempuan itu entah ibu rio atau pembantunya tapi debo bilang ini rumahnya bukan rumah keluarganya, berarti dia tinggal sendirian dong
“iya mas, tapi debo nya masih di café dia pesan kalau ada dua temannya di suruh masuk aja dulu jam 20.00 debo pulang”
“oh begitu yah bu’ kalau gitu perkenalkan dulu, aku rio teman lamanya debo dan ini deva dia temanku”
“ya sudah masuk dulu yah mas, nanti bibi buat minum”
Dua pemuda itu masuk ke dalam rumah dan mereka terlihat takjup, bukan karena rumahnya besar atau luas tapi rumah itu sangat rapid an tidak ada debu sedikit pun di rumah itu. Amazing !!!
“hebat yah deva perempuan tua itu bisa membersihkan rumah sebersih ini sendirian, coba kau seperti itu aku tidak perlu tiap hari harus memarahimu”
“bibi nggak sendirian kok, aku juga ikut membantu” suara lembut dari arah belakang dua pemuda itu terdengar begitu jelas, dan dengan cepat dua pemuda itu menoleh kebelakang
Deva tampak melongo lebar dengan apa yang dia lihat.
“OIK !!! tapi ini tidak mungkin apa aku sedang bermimpi” deva memukul-mukul mukanya dengan keras, dia takut kalau apa yang dia lihat mimpi lagi dan terus saja mimpi
“kau kenapa bertingkah bodoh seperti itu. Kasian muka itu tidak ada dosa” kembali suara gadis mungil itu berbicara
Rio melihat tingkah bodoh deva hanya geleng-geleng kepala, sebetulnya dia juga kaget tapi apa debo punya adik perempuan yah, setau dia debo anak tunggal.
“hey kau siapa?” tanya rio yang sudah penasaran dengan gadis mungil itu, wajahnya sangat mirip dengan oik bahkan suaranya pun juga tidak ada beda sedikitpun
“aku aya, adiknya kak debo kalian berdua siapa?”
“aku rio teman lama kakak mu dan ini deva”
Deva terlihat seperti orang gila, dia tetap saja memukul wajahnya dan enggan mendekat kearah mereka berdua.
>>>>>>>>>>>>>>
Created by:
Aniza yanuriska wardani
Debpi zulpiarni
Adisti Natalia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar