Photobucket
PhotobucketPhotobucket

Selasa, 04 Oktober 2011

Bongkahan Bintang Lusuh Untuknya ---> Part 4

Part 4: Seperti Menggenggam Udara

Percaya.. Satu kata sihir yang mampu mewujudkan apapun. Berawal dari perasaan manusia yang nyaman akan sesuatu, maupun seseorang. Kenyamanan itulah yang menjadi bibit dari rasa percaya, dan berkembang menjadi sebuah kepercayaan.

Kepercayaan.. Wujud real dari percaya. Kau bisa melihatnya melalui ucapan, bahkan tingkah tingkah laku.

Kepercayaan akan tampak manis saat semua berjalan semulus orang yang menepati janji. Bila sebaliknya, ia akan tampak pahit, bahkan busuk, ketika dusta mulai merebak. Dan sekali bau dusta tercium, maka kepercayaan itu akan terbunuh seketika.

"Kak, itu bohong, kan?"

"Data ini asli, Ik! Ngapain kamu tanya ke bajingan itu?! Dia pasti nggak mau ngaku! Percaya sama aku, Oik," sahut pemuda yang ada dihadapan Oik.

"Deva diam!" jerit Oik. Ia menatap lurus, mata pemuda disampingnya. "Kak, Deva bohong, kan?"

Deva yang merasa tak dihargai kembali berteriak, "Oik, aku nggak bohong! Ini fakt..."

"DEVA DIAM!" Oik berteriak lebih kencang. Mau tak mau Deva mengunci mulutnya.

Oik kembali fokus pada pemuda disampingnya yang masih menatapnya tanpa mengucapkan apapun. "Kak Obiet?"

Obiet menutup matanya dan menghela napas panjang. Mungkin ini saatnya, pikir Obiet. Kelopak matanya membuka perlahan. Sekarang, dihadapannya terdapat dua bola mata cantik yang tengah menunggunya bicara. "Ya."

"Apa, kak?"

"Dia nggak bohong," ucap Obiet lirih.

Oik terdiam. Satu hal yang ia lakukan hanyalah menatap Obiet tanpa berkedip. Sedangkan Obiet berusaha untuk menghindari tatapan Oik dengan menunduk. Dia tak kuat jika harus menatap mata Oik dalam kondisi seperti ini. Dia akan merasa semakin bersalah.

"Jadi kakak yang buat aku amnesia.. Apa..apa karena itu juga kakak selalu ada disampingku?"

Obiet mengangguk lemah, "awalnya aku merasa bersalah padamu." Obiet mengangkat wajahnya dan memberanikan diri untuk menatap Oik. "Tapi, aku.. Setelah itu..."

"Aku benci kakak."

Mata Obiet terbelalak. Dia melihat Oik tengah menunduk. "Apa?"

Oik mendongak. "Aku benci kakak.. Aku benci kakak! Kakak pembohong!" Oik mendorong Obiet dan berlari masuk ke dalam rumah Debo.

"Aya!" Obiet berusaha mengejar Oik. Tetapi dengan sigap, Deva menutup jalannya. "Dev, minggir!" perintah Obiet.

Deva malah tersenyum. "Memangnya apa lagi yang mau kau lakukan?! Kau sudah tidak diterima disini!" ucapnya sambil mendorong Obiet hingga membentur moncong sky line.

Obiet menoleh ke arah Debo yang sedari tadi diam menonton. "Please, Deb. Aku mau ketemu Aya."

Debo menaikkan bahunya, "aku nggak tau kata apa yang cocok buatmu, Biet. Brengsek? Bajingan? Pengecut? Tapi yang jelas, kamu bukan orang yang tepat untuk dipercaya. Jadi jangan harap kamu bisa dekat lagi dengannya."

Mendengar perkataan Debo itu, tubuh Obiet mendadak lesu. Debo berbalik, "Dev, aku serahkan pengecut ini padamu. Jangan biarkan dia masuk." ucapnya kemudian berlalu.

"Kamu denger sendiri, kan?!" ucap Deva mengalihkan pandangan Obiet dari pintu rumah yang tertutup. "Kamu nggak diterima disini!"

Mata Obiet beralih menyorot Deva. "Deva, asal kamu tau. Reaksimu itu terlalu berlebihan."

"Aku? Berlebihan?"

"Ya, karna kamu bukan apa-apa baginya. Dia tidak akan pernah mengingatmu."

Buk!

Bogem mentah mendarat tepat di rahang kiri Obiet. "ITU KARNA ULAHMU, BAJINGAN TENGIK!"

Buk!

"KAU YANG MEMBUATNYA TAK MENGINGATKU!"

Buk!

Deva memukul Obiet bertubi-tubi, tanpa ampun. Sedangkan Obiet tampak rela untuk dipukul Deva hingga Deva kehabisan kata untuk mengumpatnya. "Apa kau sudah puas? Atau kau ingin menambah bengkak di wajahku?" tanya Obiet sambil menegakkan badan.

Deva hanya menatapnya lurus tanpa mengucapkan apapun. Obiet menggosok rahangnya dengan lembut. "Tidak ada lagi? Hmm, pukulanmu"Cepat pergi," ujar Deva.

"Aku memang akan pergi. Jadi kita impas, ya?"

"Impas? Apanya?"

"Pukulanmu tadi kuanggap sebagai pembalasanmu terhadap apa yang kulakukan. Jadi sekarang aku hanya bersalah padanya."

Deva terbelalak, "APA?! KAU TAK BISA SEENAKNYA!"

Obiet hanya menarik sedikit ujung bibirnya sambil berjalan ke pintu sky line. "Kita sudah tidak ada urusan lagi." Obiet membuka pintu, "tinggal urusanku dengannya," ucapnya sebelum masuk ke dalam sky line. Obiet menyalakan mesin dan melaju sekencang mungkin, meninggalkan Deva yang sedang asyik mengumpat seperti orang gila.

***

Udara malam ini cukup dingin, di tambah hujan lebat yang mengguyur kota ini, membuat sebagian orang enggan untuk keluar rumah.

Sky line itu melaju dengan kecepatan maksimum, ia menerobos tumpahan air itu, ia tak peduli dengan apa yang ada di depannya, baginya yang terpenting sekarang ia sampai pada tempat tujuannya.

Ciitt...

Sky line itu berhenti tepat di depan sebuah bar yang cukup besar. Dari sky line itu muncul seorang pemuda.

Pemuda itu berjalan gontai, membuka pintu bar dan masuk ke dalam bar. Ia langsung duduk di tempat faforitnya yang berada di pojok kanan bar itu, cukup sepi dibanding tempat lainnya. Ia mengangkat tangan untuk memanggil pelayan yang ada di bar itu.

"obiet." sapa seorang gadis, pemuda itu menengok kearahnya.

"kemana saja?" tanya gadis itu, ia duduk tepat didepan obiet. Obiet tak menjawab, ia justru meminum minuman yang baru diberikan pelayan itu.

"sedang ada masalah?"

"ya."

"kau bisa cerita padaku." ujar gadis itu. Obiet memandang gadis itu tajam.

"aya membenciku." ujar obiet singkat, lalu ia menengguk minuman itu lagi.

"aya? Hmm... Gadis yang kau tabrak itukan?"

"ya, aya sudah tahu semuanya. Ia tahu aku yang menabraknya dan membuat dia hilang ingatan." cerita obiet, gadis yang ada didepannya sedikit tersenyum tapi kemudian ia kembali merubah mimik mukanya.

"oh.. Lalu dia marah padamu?" obiet mengangguk, lalu kembali meminum minuman berakhol itu.

"hmm.. Aku cuman mau bilang, masih ada aku disini, aku akan selalu menemanimu. Kapan pun dan dimanapun." ujar gadis itu lagi.

"biet, aku yang teraktir ya? Kau minum sepuasmu, anggap saja ini sebagai permohonan maafku." lanjutnya lagi, obiet lagi lagi hanya mengangguk.

1 botol

2 botol

3 botol..

Entah sudah berapa botol yang sudah diminum pemuda itu. Kini perlahan lahan kesadarannya mulai menghilang.

"hahaha.. Aku pembunuh." ujarnya.

"aku terlahir sebagai keluarga pembunuh!"

"bayangkan ngel, ibuku membunuh selingkuhan ayahku, ayah? Hahaha... Ia mendorong ibu hingga ibu jatuh dari lantai apartemen tertinggi."

"dan bukan cuman itu kakak perempuan ku juga ikut mendorong ayah hingga juga meninggal. Akibatnya ia harus rela mendekam di penjara selama bertahun tahun lamanya. Hahahaha."

"sekarang sepertinya aku yang menjadi penerus dari keluargaku. Aku membuat orang kehilangan ingatannya. Hahahaha..."

"keluarga yang hebat kan? Hahaha" cerocos obiet panjang lebar. Sepertinya ia ingin menuangkan semua beban yang ia simpan dari dulu.

"biet.." ujar angel. Keningnya mengkerut, ia bingung harus berkata apa.

Bukk...

Seketika itu juga obiet pingsan di depannya. Ia terlentang tak sadarkan diri.

"OBIET..." ujar angel histeris.

"biet sadar biet! Obiet!" ujarnya panik.

***

kata yang diucapkan obiet masih terngiang-ngiang ditelinga deva.

"urusan denganmu sudah selesai, sekarang tinggal urusanku dengannya"

apa maksudnya..?? Apa mungkin urusan dengan oik..??

"brengsek kau obiet, aku tidak akan membiarkan sedikitpun sentuhan dari tanganmu mendarat ditubuh oik" batin deva geram saat memasuki rumah debo setelah dia berhasil mengusir obiet.

Oik terlihat masih syok, entah kenapa airmatanya terus mengalir, mengalir untuk sesuatu yang tidak pantas untuk dia tangisi.

"AKU BENCI KAK OBIET" jerit batin oik lirih.

"oik" debo mencoba masuk kamar oik perlahan sampai tak terdengar suara langkah kaki sedikitpun.

Oik menelungkupkan badannya. Oik menitikkan airmata diguling yang dia topang. Entah kenapa dia merasa hatinya seperti disayat ribuan pisau malam itu.

Deva berniat menghibur oik, deva tidak tega melihat oik seperti ini. Menangis untuk hal yang tidak penting.

"aku ingin sendiri" ucap oik pelan.

Deva cemberut tapi mau bagaimana lagi, deva tidak mungkin memaksakan egonya untuk kali ini.

Deva berniat pulang kerumah, tapi sebelumnya deva pamit kepada oik. Oik hanya berdehem lemah, deva sedikit kecewa tapi deva sudah lega karena semuanya sudah terungkap. Deva pulang dengan wajah sumringah.

***

rio melihat deva yang senyum-senyum sejak memasuki rumah terus saja mengeryitkan alisnya pertanda heran.

"dev, kamu baik-baik ajakan..??" rio menyentuh kening deva. "tidak panas" deva kesal dan menghempaskan tangan rio dengan kasar.

Deva tidak mau menanggapi rio, hari ini dia sedang senang bahkan sangat senang.

"aku menang darimu obiet" batin deva memasuki kamar.

Deva keluar dari kamar dalam keadaan rapi dan bersih. Lagi-lagi rio melirik heran.

"jangan menatapku seperti itu, aku tau kalau aku memang lebih ganteng dari kamu nak rio" ucap deva berlebihan.

Rio menjitak kepala deva pelan. Deva males menanggapi tindakan rio yang bisa dibilang merusak citra tubuhnya.

"hari ini aku sedang senang jadi aku berniat untuk mengajakmu kesuatu tempat" rio lagi-lagi heran, kenapa mengajak dia.

"kesuatu tempat..?? Kamu tidak akan menembakku kan..??" ucap rio gaje.

"menembak..?? Maksudmu seperti menyatakan cinta gitu..??" ucap deva meluruskan, rio mengangguk.

"bodoh, aku masih normal, jadi kepastiannya mau atau tidak..??" tanya deva mulai kesal. Rio berpikir sebentar.

"mau atau tidak, aku hanya ingin mentraktirmu karena hari ini aku sedang senang" ucap deva lagi, rio masih menimbang-nimbang ajakan deva.

"kalau kamu tidak mau, ya sudah aku bersenang-senang sendiri" ucap deva beranjak pergi. Rio menahan tangan deva.

"aku ikut, enak saja ketika kamu ada masalah aku pasti selalu kena dan sekarang kamu senang-senang aku ditinggal pergi gitu aja, oh tidak bisa" ucap rio yang sedang bersiap-siap.

Proott proott

beberapa kali rio menyemprot badannya dengan parfum. Deva menutup hidungnya.

"aku malas mandi" ucap rio menjawab tatapan aneh deva.

"cepatlah sedikit, kalau moodku sedang tidak bagus kamu yang bayar semuanya" ucap deva enteng.

Rio menghembus nafas berat dan bergegas mengeluarkan mobilnya.

***

"ayoo kita bersulang" ajak deva mengangkat satu gelas bir penuh. Rio menatap deva heran, sampai sekarang dia belum tau apa alasan deva mengajak dia bersenang-senang.

"dalam rangka apa kamu mengajakku kesini, tidak biasanya, aneh" ucap rio masih menatap deva sedang meneguk satu gelas bir penuh.

Deva seperti orang mabuk, matanya sedikit merah, badannya goyang, dan ucapannya sedikit ngelantur.

"sudahlah, kamu pesan saja apa yang kamu mau, aku yang bayar semua" ucap deva menuang lagi bir kedalam gelas, rio mengambil botol bir itu dengan paksa.

"cukup minumnya" bentak rio, deva menatap rio geram.

"kembalikan bir nya rio, aku sedang senang" ucap deva merampas botol bir yang berada ditangan rio dengan paksa.

"argghhh"

BUKKKKKK

rio menggotong tubuh deva yang tergulai lemas dilantai. Tatapan pengunjuk beralih kemereka.

"huhffk, kalau tau endingnya seperti ini aku pasti ogah menyanggupi ajakanmu deva"

"buat susah saja, senang-senang sih senang-senang tapi nggak pake mabuk juga kali" rio menghempaskan tubuh deva dengan kasar ke jok belakang mobil.

Deva tidak merespon. Rio trus-trusan ngomel sendiri didalam mobil.

Warna coklat soft yang mendominasi dinding ruangan memberi kesan hangat. Tetapi ia tahu, makna warna coklat soft bagi si Pemilik ruangan bukan hanya itu. Matanya mulai menyisir setiap perabotan. Memang ada beberapa perubahan, pikirnya. Senyumnya sedikit mengembang, teringat masa lalu. Ia kembali berjalan sambil membawa kantung es yang sedari tadi menetes, menuju kamar.

Ia mengetuk pintu sebentar, lalu masuk ke dalam. Retinanya menangkap situasi yang sama seperti sebelumnya, kamar yang tenang. Ia berjalan ke samping tempat tidur dan menatap pemuda yang tengah terlelap disana. Perlahan ia duduk di samping pemuda itu, lalu meletakkan kantung es di atas keningnya. "Biet.." panggilnya. Namun tidak ada respon sama sekali.

Setelah beberapa menit ia menunggu Obiet siuman, ia memutuskan untuk keluar. Ketika ia hendak berdiri, ada tangan yang mencengkram tangannya. Ia menoleh, menatap Obiet yang tengah berusaha membuka matanya. "Sudah bangun? Bagaimana keadaanmu?" ucapnya sambil kembali duduk disamping Obiet.

Obiet menyingkirkan kantung es di keningnya, lalu berusaha duduk dengan tangan kanannya yang masih mencengkram tangan wanita di sampingnya. "Aku tak apa. Hanya beberapa botol tidak akan membuatku tumbang."

"Tapi baru saja kamu tumbang," ejek wanita itu.

"Jangan mulai deh, kak," ucap Obiet.

Sivia tersenyum, "iya, iya. Lagi pula sekarang, untuk pertama kalinya setelah kejadian itu, kamu menggenggam tangan kakak seperti ini."

Obiet yang tersentak, langsung melepaskan kaitan tangannya dari tangan Sivia. "Maaf."

"Maaf? Untuk apa? Lagi pula, kakak dengar ocehanmu pada perempuan di bar itu. Kakak yang salah, Biet. Kakak minta maaf," ujar Sivia sambil menarik dan menggenggam tangan Obiet.

"Aku sudah melupakannya," Obiet mengalihkan pandangannya ke arah jendela. "Aku sengaja membicarakannya di hadapan Angel."

"Kamu pura-pura mabuk?!"

"Seharusnya iya. Tapi mungkin karena belakangan ini aku jarang minum, jadi lepas kontrol."

Sivia menatap Obiet, tajam. "Kamu sengaja melakukannya? Kenapa?"

Obiet menoleh, menatap kakaknya sambil sedikit tersenyum. "Aku ingin dia tau, siapa aku sebenarnya."

"Lalu apa untungnya bagimu?"

"Aku harap dia segera menjauhiku. Selain itu, aku tak ingin berbohong lagi."

Sivia tersenyum, "kamu sudah banyak berubah. Thanks, Biet," ucapnya sambil mengusap kepala Obiet. "Sekarang istirahatlah." Sivia berdiri, lalu pergi meninggalkan Obiet dengan senyum yang terpatri di bibirnya.

"Kak?" panggil Obiet.

Sivia berhenti, "ya?"

"Aku...butuh nasehat."

Sivia menaikkan alisnya. "Nasehat?" Bahkan berbincang-bincang seperti tadi pun, adalah kejadian pertama setelah dirinya keluar dari penjara. Dan sekarang, Obiet meminta nasehat darinya. Sungguh, ada perasaan senang yang membuncah di dadanya saat ini.

"Ya, nasehat," jawab Obiet.

Sivia kembali mendekat dan duduk di samping Obiet. "Oke.. Katakan apa masalahmu."

"Kakak ingat gadis yang kubawa saat kau marah-marah?"

Sivia mengangguk, "ya. Dia gadis yang kau tabrak, kan? Kenapa?"

"Dia marah ketika dia tau kalau aku yang membuatnya amnesia," tutur Obiet.

"AMNESIA?!" jerit Sivia. "Kenapa kau tak pernah mengatakannya?!"

"Karna kakak pasti menceramahiku lagi."

"Bingo. Dan sekarang aku akan menceramah..."

"Sekarang aku minta nasehat kakak. Bukan ceramah."

Sivia menghela napas panjang. Berusaha menahan kemarahannya pada Obiet. "Oke.. Sekarang apa maumu?"

"Katakan, apa yang harus kulakukan agar dia kembali padaku?"

"Kembali padamu? Gadis itu?" Sivia tampak berpikir sambil menatap adiknya. "Kau pasti sangat menyukainya. Tapi masalahnya, apa dia juga menyukaimu?"

Obiet diam. Ia sedang berusaha mengingat setiap momen saat mereka bersama. "Dia pernah berkata padaku, kalau dia menyukaiku. Tapi..."

"Sekarang dia membencimu?"

Obiet menunduk, "iya. Apa yang harus kulakukan?"

Sivia menggosok keningnya sambil tersenyum. "Aku tak tau kalau ternyata adikku yang terkenal berandalan bisa jatuh cinta. Bahkan patah hati."

Obiet melirik kakaknya, tajam. "Sudah kubilang, jangan mulai lagi!"

"Biet, asal kau tau. Aku bukan dokter cinta. Saranku pasti gagal," tutur Sivia. "Mungkin Gabriel bisa membantumu. Walaupun keras kepala, dia pintar merayu. Aku akan memanggilnya."

Sivia berdiri, tetapi Obiet mencegahnya. "Aku minta pendapat kakak. Bukan kakak ipar. Lagi pula, kakak kan perempuan, apa yang kakak inginkan dari laki-laki yang berbuat salah padamu?"

Sivia kembali menggosok keningnya dan diam cukup lama. "Ehm.. Mungkin minta maaf? Dan minta penjelasan. Mungkin itu yang kuinginkan untuk kau lakukan."

"Kalau dia mengusirku lagi?"

"Apa kau tak ingat, bagaimana upaya kakak agar kau memaafkan kakak?"

Obiet tertawa kecil sambil menatap kakaknya. "Satu hal yang kuingat adalah wajah kepiting rebus kakak."

"Kau ini! Jangan mulai lagi!" Sivia mulai melangkah menjauhi Obiet, "istirahatlah!"

Obiet mengangguk, lalu merebahkan tubuhnya. Sivia yang hampir mencapai pintu, tersenyum bahagia. Ini adalah momen yang paling berharga sepanjang hidupnya.

"Kakak?"

Sivia menoleh. "Ya?"

"Terima kasih," ucap Obiet dibalik selimutnya.

"Sama-sama," tutur Sivia sambil membuka pintu.

"Kak?" panggil Obiet.

"Apa lagi?"

"Aku tidak bisa tidur," ujar Obiet.

"Lalu?"

"Nyanyikan lagu yang biasa dinyanyikan ibu untuk menidurkanku."

Sivia terkikik geli sambil berjalan mendekati adiknya, "sejak kapan kau jadi anak yang manja?"

"Apa tidak boleh?" tanya Obiet sambil mengedipkan mata kanannya.

Sivia tertawa, "hei, kau tidak boleh genit pada kakakmu sendiri!"

"Aku bisa melakukannya seharian jika kakak tidak mau bernyanyi untukku," jawab Obiet dengan kerlingannya.

Untuk kesekian kalinya dalam sehari ini, Sivia duduk di samping Obiet. Kembali menatap wajah polos adiknya yang mulai manja padanya. "Kau mau lagu apa?"

"Lagunya doremon," jawab Obiet. "Kakak ingat?"

Sivia mengangkat alisnya, "mungkin.. Iya."

"Kalau begitu, nyanyikan untukku," perintah Obiet sambil menaikkan selimutnya hingga menutupi hidungnya.

Sivia menggelengkan kepalanya. Beberapa hari yang lalu, saat terakhir kali mereka bertemu, Obiet masih semangat untuk membentaknya. Sekarang, Obiet merengek padanya. Seperti adik yang meminta mainan kakaknya. "Konna koto ii na.." Sivia mulai bernyanyi. "Dekitara ii na. Anna yume konna yume. Ippai aru kedo.."

Obiet tersenyum mendengar suara kakaknya yang dibuat semirip mungkin dengan penyanyi aslinya.

"Minna Minna Minna, kanaete kureru. Fushigina pokke de kanaete kureru. Sora wo jiyuu ni tobitai na.. Hai! Takekoputa!"

Sivia menatap Obiet, terbayang wajah riang Obiet Kecil saat lagu itu menemaninya tidur. "An an an totemo daisuki Obieto-kun.." Sivia sedikit mengecilkan volume suaranya ketika melihat Obiet mulai menutup matanya. "An.. an.. an.. totemo daisuki.. Obieto-kun.."

Sivia tersenyum. Perlahan ia berdiri dan meninggalkan Obiet. "Selamat malam.."

***

"udah siap cantik..??" ucap deva saat melihat oik turun dari tangga.

Oik tersenyum kemudian mengangguk. oik menggunakan baju kaos simple warna pink, celana jeans, jaket putih dan syal putih yang dibalut dilehernya.

Cuaca memang tidak begitu panas dan tidak begitu dingin. Sangat bersahabat untuk siapa saja yang mau pergi keluar.

"ehh ehh, mau kemana nih..??" debo menghentikan langkah mereka dan melirik curiga.

"hhehe, pinjem oik yah kak debo, mau dibawa jalan-jalan, sebelum matahari terbenam oik sudah aku balik'in kok" pinta deva

"pinjem..?? Dikira oik barang, gak gak" tolak debo

"yahh kak udah siap mau pergi nih, masak gak diboleh'in" deva menatap debo sedih.

"salah sendiri, izin dulu sama kakaknya kalau mau bawa oik kemana-kemana, kedepan pintu gerbang rumah juga harus izin" tegas debo

"kak debo gak asik"

oik senyam-senyum melihat pertengkaran antara kak debo dan deva. oik tau kalau kak debo hanya pura-pura, tadi malam oik sudah izin kalau pagi ini mau pergi jalan-jalan dengan deva dan debo mengizinkan dengan senang hati.

"okeh kakak izinkan, tapi pulang kerumah harus bawa makanan kesukaan kakak" ucap debo

"iya-iya"

"jangan iya-iya, iya dibawa'in gitu"

"iya dibawa'in kak debo"

"pinter"

deva melirik oik sekilas, oik tersenyum manis kearahnya.

"tunggu apalagi, buruan pergi sana, hussh hussh" usir debo canda.

"yah kakak, dikira saya ayam apa, diusir-usir gitu"

"loh emang bukan ayam yah..??"

oik menyeret deva keluar rumah, entah kenapa kakaknya menjadi sangat cerewet hari ini.

"kapan berangkat kalau kamu ngobrol trus sama kak debo, mending yang dibicara'in penting, lah ini, ckck" ngomel oik

deva semakin cemberut karena oik tak membelanya.

"mau diem disitu saja jadi patung pajangan rumah, atau mau berangkat sih dev..??" tanya oik kesal.

"iya-iya cantik berangkat, jangan marah-marah dong ntar gak cantik lagi, silahkan masuk tuan putri" deva membukakan pintu mobil untuk oik. Entah kenapa oik spechless atas perlakuan deva tadi.

Mobil deva sudah melaju, cukup pelan, 40km/jam.

"mau kemana cantik..??" tanya deva.

"terserah kamu aja, yang jelas aku ingin melupakan semua kejadian yang ntar gak cantik lagi, silahkan masuk tuan putri" deva membukakan pintu mobil untuk oik. Entah kenapa oik spechless atas perlakuan deva tadi.

Mobil deva sudah melaju, cukup pelan, 40km/jam.

"mau kemana cantik..??" tanya deva.

"terserah kamu aja, yang jelas aku ingin melupakan semua kejadian yang bisa membuat otakku pecah" oik melihat langit, dia kembali teringat sosok obiet. Sosok yang sudah dia anggap sebagai kakak sendiri, tapi sosok itu juga yang sudah membuat masalah baru untuknya.

Ckitttt

mobil deva sudah terpakir. Mereka berhenti dilapangan yang dipenuhi salju. Banyak sekali orang disana, terutama anak-anak. Bermain bola salju, itu lah yang biasa anak-anak lakukan.

Oik tersenyum melihat anak-anak itu, mereka seperti tak ada beban.

"Ingin sekali aku seperti mereka, kalau bisa selamanya" batin oik.

"heyyyy" deva melambaikan tangannya kedepan muka oik, tapi oik tidak merespon. Deva melihat arah pandangan oik. Deva tersenyum.

Bukkk

satu lemparan bola salju mengenai punggung oik. Oik melirik siapa yang sudah melemparnya, pasti ini ulah anak-anak tadi.

"devaaaaa" deva hanya nyengir kuda.

"baju ku jadi kotor nih" rengek oik.

"sini deva bersih'ih" deva berjalan menghampiri oik dan membersihkan sisa bola salju yang menempel di jaket oik.

"udah bersihkan..??" oik tersenyum licik.

Bukkkk

"satu sama, hhaha" oik tertawa lepas. Entah kenapa deva merindukan saat seperti ini, saat oik hanya untuknya, tertawa bersamanya, dan menangis juga harus bersamanya.

***

"biet, untuk apa sih kita kesini?" tanya perempuan itu.

"ini tuh tempat untuk anak anak. Kita nggak pantes biet kesini!" lanjutnya lagi. Pemuda itu tak menjawab pandangannya menerawang ke kejadian dimana ia bersama gadis itu. Gadis yang sekarang sangat membencinya.

"biet!" panggilnya lagi.

"aya sangat suka dengan tempat ini." jawabnya datar.

"tapi biet aku bukan aya!"

"kau tak suka? Kalau kau tak suka kau boleh pergi dari tempat ini! Lagi pula aku tak pernah mengajakmu!" bentak pemuda itu. Gadis yang berada disebelahnya pun hanya bisa menunduk.

"biet!" panggilnya lagi, ketika ia melihat pemuda itu pergi menuju sebuah wahana permainan.

"obiet aish jangan pergi sesukamu!" ujar perempuan itu.

Namun lagi lagi obiet tak menghiraukannya.

"roda raksaksa." ujar obiet pelan. Gadis itu mengikuti kemana pandangan mata obiet.

"semenjak kapan kau suka permainan bodoh seperti ini?" tanyanya bingung.

"roda raksaksa dapat menyatuhkan kita dengan langit." jawab obiet singkat.

Setelah itu ia melangkah mendekati permainan itu. Namun gadis itu mencegahnya.

"kau tak ingin menaiki permainan bodoh itukan?" tanyanya.

"bukan urusanmu!"

***

"ik, kau mau naik apa?" tanya pemuda itu, gadis itu tersenyum lalu ia menunjuk permainan kegemarannya.

"bianglala?" ujar deva bingung. Oik mengangguk semangat.

"apa oik telah mengingat semuanya? Oik yang dulu juga sangat menyukai bianglala." batin deva senang.

"dev." panggil gadis itu lembut.

"kita jadi naik itukan? Oik ingin menaikinya."

"tentu. Ayo." kata deva semangat. Dengan cepat ia menarik tangan oik menuju permainan itu.

***

"obiet tunggu!" ujar gadis itu lagi.

"apa sh ngel? Aku ingin menaiki roda raksaksa itu! Kalau kau tak mau itu urusanmu! Bukan urusanku!" bentak obiet kasar.

"setauku kau takut dengan ketinggian bukan? Lalu apa kau tak salah menaiki itu?" tanya angel heran.

"dulu ia! Tapi sekarang tidak!" jawab obiet mantap.

"biet! Tunggu aku ikut." teriak gadis itu lalu ia segera menyusul obiet yang sudah lebih dulu berjalan mendekati bianglala.

Namun tiba tiba langkah obiet terhenti pandangannya menangkap sesosok gadis manis yang sedang bersama pemuda tampan.

"aya." ujarnya pelan.

Gadis yang merasa namanya di panggilpun menengok kearah sumber suara itu. Kedua pasang bola mata itupun bertemu, cukup lama mereka saling menatap, sampai akhirnya pemuda yang ada disebelah gadis itupun angkat bicara.

"ik, kita pergi dari sini!" ujarnya tegas, gadis itupun mengangguk.

"AYA!" Panggil pemuda itu keras, ia berlari mengejar gadis itu. Hap! Ya ia berhasil menggapai tangan gadis itu.

"aya. Ada yang ingin ku bicarakan padamu." ujarnya, namun tiba tiba tangan deva menampik kedua tangan yang saling bertautan itu.

"kau tak pantas menyetuhnya dengan tangan kotormu!" ucapnya kasar. Obiet tak menghiraukan ucapan deva, ia memandang gadis itu lekat.

"ku mohon ya, maafkan aku." ujarnya pelan.

"oik tak akan sudi memaafkanmu!"

"dev, aku tak berbicara padamu! Aku berbicara pada aya!" jawab obiet.

"NAMA DIA OIK! BUKAN AYA!" kali ini suara deva meninggi.

"dev kita pergi dari sini. Aku tak mau berbicara pada lelaki yang pengecut dan pembohong seperti dia!" ujar oik, lalu ia menarik tangan deva untuk segera pergi dari sana. Deva tersenyum, ya ia senyum kemenangan.

"AYA!" lagi lagi pemuda itu menarik tangan gadis itu.

"KAK OBIET, LEPASKAN!" bentak gadis itu.

"aku tidak akan melepaskan mu. Sebelum kau memaafkan ku." ujar pemuda itu.

>>>>>>>>>>>>>>>>>


>>>>>>>>>>>>>>

Created by:


Aniza yanuriska wardani

Debpi zulpiarni

Adisti Natalia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar