Gadis manis itu menatap bangku kosong yang ada disebelahnya, bangku
kosong yang telah di tinggalkan sang pemiliknya, gadis itu menghela
nafasnya perlahan, ingin sekali rasanya menangis jika ia mengingat
kejadian buruk yang sedang di alami sahabat baiknya. Gadis ini tidak
bisa membayangkan jika semua itu terjadi pada dirinya, mungkin ia tak
bisa setegar yang dilakukan sahabatnya itu..
Tet… Tet.. Tet…
Bunyi
bel sekolah itu terdengar begitu nyaring, membuat semangat para siswa
yang tadinya sudah padam kembali bangkit. Bel yang tak lain adalah bel
pulang sekolah itu benar benar membuat para siswa bersemangat. Begitu
pula gadis manis ini, ia segera bangkit dari tempat duduknya, dan
langsung beranjak pergi menuju tempat sahabatnya berada..
Harum
alkohol langsung tercium ketika gadis ini memasuki sebuah gedung yang
di dominasi dengan warna putih itu, ia mempercepat langkahnya,tak ingin
rasanya membuang buang waktu saat ini, karena ia sudah tak sabar ingin
menemui sahabatnya itu.
Krekkk…
Pintu ruangan itu
berdecit nyaring, saat gadis itu membukanya, pandangannya menyusuri tiap
sudut ruangan itu. Pemandangan yang sama yang ia lihat, seorang pemuda
yang nampak sedang tertidur, wajahnya pucat pasi, di sekelilingnya
banyak sekali alat alat medis yang membantunya untuk bertahan hidup.
“sus..” sapa gadis itu pelan. Suster Salsa yang merasa di panggilpun melihat kearahnya lalu tersenyum.
“nyari adil ya?” Tanya suster salsa ramah. Gadis manis itupun mengangguk
“adil lagi di panggil dokter keruangannya..” jawab suster itu.
“oh,
lalu bagaimana keadaan kak anton sus? Bertambah baik atau…” gadis itu
tak meneruskan kalimatnya, ia menunduk dalam diam, tak terasa air
matanya mengalir begitu saja. Suster Salsa menghela nafas perlahan
sebelum ia menjawab pertanyaan gadis itu.
“ keadaannya tak
begitu baik, jusru keadaannya kian memburuk.” Lagi lagi gadis itu
terdiam, ia memandang pemuda itu nanar. Tak tega rasanya melihat pemuda
yang telah ia anggap sebagai kakaknya sendiri dalam keadaan sepeti ini.
Suster Salsa pun beranjak pergi, namun sebelum ia pergi ia sempat
membisikkan sesuatu kepada gadis ini.
“terus beri semangat
kepada sahabatmu ya? Ia betul betul anak yang tegar, jangan biarkan
semangatnya berkurang” bisiknya pelan, Vyone pun mengangguk lalu
menghapus air matanya dengan punggung tangannya. Suster Salsa tersenyum,
sebelum akhirnya ia benar benar keluar dari ruangan itu.
Perlahan tapi pasti Vyone berjalan menghampiri pemuda itu, menyeret sebuah kursi, dan di letakan tepat di samping kasur anton.
“cepet
sembuh kak. Adil masih butuh kakak di sampingnya. Dia memang tegar di
hadapan semua orang, tapi aku tau di dalam hatinya ia menjerit kak. Aku
nggak bisa lihat Adil kayak gini kak. Aku pingin liat Adil yang dulu..”
isaknya pelan.
Vyone merapikan badannya dan meletakkan kursi ketempat semula.
"vyo
keluar dulu yah kak, perut udah keroncongan nih nunggu kakak nggak
bangun-bangun, nanti vyo kesini lagi" canda vyone. dia yakin kalau kak
Anton pasti mendengarnya.
Banyak orang bilang
kalau orang yang sedang koma atau tidak sadarkan diri bisa mendengar apa
yang kita bicarakan. "Ajaklah kak Anton ngobrol trus, walaupun dia
tidak ikut mengobrol denganmu tapi dia mendengar apa yang kamu katakan"
suruh suster Salsa, vyone mengangguk.
***
Krekk…
Pintu ruangan itu kembali berdecit menandakan ada seseorang yang masuk kedalam ruangan ini.
“Vyone..”
sapa seseorang yang baru saja memasuki ruangan ini. Gadis itupun
melihat dan buru buru menghapus air mata yang masih melekat dipipinya.
dia tidak ingin Fadil melihatnya menangis. bagaimana mungkin orang yang
mau memberikan semangat untuk sahabatnya malah menangis.
"ngobrol diluar aja yuk..??" ajak Fadil, vyone hanya mengangguk. Banyak bangku berjejer diluar ruangan itu.
“ini.” ucapnya sembari memberikan beberapa tumpukkan kertas yang ia ambil dari tasnya.
“tadi sebelum aku kesini, aku ke tukang foto copy dulu.” Ujarnya.
“itu dari catatan aku, besok kita ulangan, jadi adil harus masuk ya?” lanjutnya lagi.
Ya
sudah seminggu belakangan ini Fadil ijin untuk tidak masuk sekolah, ia
ingin menemani sang kakak lebih lama. Awalnya permintaan ijin ini di
tolak oleh pihak sekolah, namun setelah di rundingkan kembali dengan
para guru, Fadilpun akhirnya di ijinkan, tapi dengan satu syarat Fadil
harus tetap mengerjakan apapun yang di berikan oleh guru studinya dan
harus menghadiri ujian ujian seperti sekarang ini. Beruntung Fadil
memiliki sahabat seperti Vyone, yang siap membantu kapanpun ia
membutuhkannya. Hampir setiap hari Vyone datang kerumah sakit ini,
tujuannya selain menjenguk Anton ia juga menjadi guru privat Fadil.
“makasih ya..” ujar Fadil tulus, vyone mengangguk pelan.
Suasana
diluar ruangan memang tidak begitu ramai, hanya ada mereka berdua dan
satu keluarga pasien lain yang sedang tertidur lelap dikursi. Mereka
berdua kembali kedalam pikiran masing masing. Tanpa di duga duga Vyone
berlari kearah Fadil dan memeluknya erat.
“kak Anton bakal
sembuh kok, adil tenang aja ya?” suara gadis itupun bergetar tak
karuan. Ia tak kuat melihat sahabatnya seperti ini. Fadil memang
tersenyum kepadanya, tapi Ia tahu senyum itu tak seperti senyumnya yang
dulu. Bagi Vyone senyuman Fadil yang sekarang adalah senyum penderitaan.
“vyo, adil gak pa pa kok.” Ujar Fadil pelan, Vyone menggeleng cepat.
“Adil
bisa bohongin semua orang, tapi adil nggak bisa bohongin aku. Aku tau
kalau hati Fadil itu menjerit, Fadil cuman sok pura pura tegar, padahal
Fadil itu rapuhkan” cerocos Vyone.
Tak ada satupun yang
dikatakan oleh Fadil, ia terdiam cukup lama, dan pada akhirnya
pertahanan Fadilpun runtuh, ia menangis menumpahkan seluruh beban dalam
hatinya pada sahabatnya itu.
“menangis sepuasnya, tapi setelah itu Fadil harus tersenyum.” Ujar Vyone lembut.
***
Fadil
berlari menyusuri tiap tiap lorong yang ada di rumah sakit ini. Lagi
dan lagi Fadil harus mendengar berita buruk itu. Kondisi sang kakak
kembali menurun, padahal baru semalam sang kakak terbangun dari tidur
panjangnya. Tapi kenapa kondisinya menurun kembali? Apa Tuhan ingin
mempermainkannya? Apa Tuhan hanya memberikan harapan palsu untuknya?
Kembali berharap lalu di patahkan kembali?
Arggghh....
Ini
semua tak adil baginya. Ia ingin marah. Tapi apa yang ia bisa lakukan?
Ia hanya bisa pasrah menghadapi cobaan demi cobaan dalam hidupnya.
Kembali air mata itu mendobrak keluar dari manik indahnya.
Ia
memegang kenop pintu itu erat. Menghela nafas perlahan, menghapus
cairan bening itu, dan mencoba untuk menguatkan dirinya. Ya ia harus
kuat demi sang kakak. Ia juga tak ingin membuat orang di sekitarnya
menjadi khawatir.
"dok.." sapa fadil pelan. Dokter alend tersenyum, ia begitu mengagumi sifat Fadil.
"duduk dil.." Fadil mengangguk dan langsung duduk di hadapan dr. Alend.
"sebenarnya
apa yang terjadi dengan kakak? Bukannya baru kemarin ia melewati masa
kritisnya?" serbu Fadil. Nafasnya kini naik turun tak beraturan.
Emosinya kini sudah sampai dengan taraf terakhir dan siap meledak
kapanpun.
"hmm.. Entah lah.. Banyak memang pasien seperti
kakakmu, mereka sempat melewati masa kritisnya namun..." kata kata dr.
Alend menggantung, ia melirik ke arah Fadil, setelah itu ia menghela
nafasnya.
"tak ada pilihan lain sekarang. Kakakmu harus segera melakukan pemindahan hati itu. Jika tidak..."
"kakak
akan meninggal, begitu dok?" potong Fadil cepat. Dokter hanya bisa
mengangguk pelan, sunggu tak tega rasanya mengatakan hal sepahit ini
kepada Fadil. Dr. Alend begitu menyayangi Fadil, ia sudah menganggap
Fadil sebagai adiknya yang telah lama tiada.
"lakukan yang terbaik untuk kakak dok." pinta Fadil, ia kembali menunduk.
"tapi dil, pemindahan hati itu memerlukan biaya yang tak sedikit."
"aku nggak peduli dok! Yang aku mau kakak tetap hidup! Bagaimanapun caranya." ujarnya bersungguh sungguh.
***
Gundukkan
tanah yang awalnya merah dan basah kini sudah tiada, di gantikan oleh
rerumputan hijau yang subur dan tertata rapi disana.
Pemuda
itu terpaku memandangnya, pikirannya kembali kepada masa itu, masa
dimana ia selalu tertawa bersama orang yang ia cintai, masa di mana ia
selalu mendapatkan apa yang ia mau, dulu ia hidup dengan indahnya,
bahkan nyaris sempurna. Tapi ia tahu hidup itu tak selamanya indah. Ada
dimana ia merasakan hidup seperti di surga dan ada kalanya pula ia
merasakan hidupnya seperti di neraka.
Hidup yang indah
kini hanya sebuah kenangan, ya kenangan indah untuknya. Kini hidup yang
gelap terus menghantuinya. Cobaan demi cobaan harus ia lewati. Apa
sekarang ia harus menyerah? Menyerah kepada sang takdir? Tidak! Ia tidak
akan pernah menyerah! Ia akan terus berusaha melawan takdir pahit itu.
Kini
di tangan kanannya memegang erat sebuah rangkaian bunga mawar merah dan
tangan yang lain memegang sebuah kotak yang berukuran sedang yang entah
berisi apa. Ia terdiam sesaat, menghembuskan nafasnya perlahan.
Bunga mawar itu ia letakkan di tengah gundukkan rumput hijau itu.
"ma pa, maaf aku baru jenguk kalian." ujarnya pelan.
"akhir
akhir ini banyak banget masalah yang aku hadapi. Ingin sekali aku
menyerah dan mengakhiri semua ini, melarikan diri dari semua masalah
ini, tapi aku nggak bisa, aku nggak mau kehilangan kakak. Aku..." ia
menggantungkan kalimatnya. Rasa sesak itu kembali hadir di hatinya,
ingin sekali ia menangis saat ini. Tapi ia tau saat ini menangis tak
akan menyeselesaikan masalahnya, ia menghela nafasnya perlahan,
mengumpulkan segala kekuatan yang masih tersimpan di dalam tubuhnya.
"aku
mohon jangan ambil kakak. Aku masih membutuhkannya." lirihnya pelan. Ia
menunduk perlahan tapi pasti cairan bening itu kembali keluar menerobos
manik beningnya itu.
"apa pun akan aku lakukan, asal kakak selamat." lanjutnya lagi.
"mama
lihat kotak ini? Dulu mama pernah bilang ke aku kalau kotak ini untukku
dan kakakkan?" tanyanya sembari menunjuk kotak itu. Air matanya kini
terus mengalir semakin lama semakin deras. Sekuat apapun ia mencoba
untuk menahan air mata itu tapi tetap saja hasilnya nihil air mata itu
tak berhenti justru ia keluar begitu derasnya.
"aku
mengambil ini sebelum aku dan kakak keluar dari rumah kita. Aku tahu
kotak ini akan berguna untuk aku dan kakak." lagi lagi ia terdiam, ia
mendongakkan kepalanya ke atas. Menatap langit cerah siang ini. Berharap
ke dua orang tuanya sedang melihatnya dari atas sana.
"kakak
harus segera melakukan pemindahan hati dan Adil tahu itu membutuhkan
biaya yang tak sedikit, Adil tak sanggup membayarnya. Karena itu adil.."
hening Fadil tak melanjutkan ucapannya, ia kembali menunduk, tanah yang
ia pijak perlahan lahan basah, ia menangis hebat, seakan akan meluapkan
rasa sesak yang tersimpan di hatinya. Lama ia terdiam sebelum pada
akhirnya ia melanjutkan kalimatnya.
"maaf kalau perbuatan
ku salah. Aku tahu mama menyiapkan ini untukku di saat aku
membutuhkannya. Tapi kini kakak lebih membutuhkannya, hanya dengan kotak
ini kakak dapat menyambung hidupnya." perlahan ia memejamkan kedua
matanya, dan beberapa saat kemudian ia kembali membukanya. Ia tersenyum
memandang langit siang itu.
“ma, pa adil pulang. Jaga diri
kalian disana, semoga kalian bahagia.” Ucapnya pelan, ia lalu menunduk
dan mencium batu nisan orang tuanya. Perlahan ia pun pergi meninggalkan
tempat dimana kedua orangtuanya beristirahat dengan tenang.
***
Malam
kian larut, suasana disini begitu sepi, tak ada orang yang terlihat
berlalu lalang di tempat ini, yang terlihat hanya seorang pemuda yang
sedang tertidur lelap.
“aku dimana?” tanyanya pelan. Ia
sungguh tak mengetahui dimana ia berada sekarang. Tempat ini begitu
sunyi tak ada tanda tanda kehidupan disana. Perlahan tapi pasti ia
melihat asap putih yang sedang menghampirinya. Awalnya asap putih itu
tak begitu jelas tapi lama kelamaan asap itu menyerupai seseorang wanita
yang sangat pemuda ini rindukan “mama..” ujarnya pelan, ia membeku di
tempatnya. Tak tau harus berkata dan melakukan apa.
“sayang, mama kangen banget sama kamu.” Ujar wanita itu, ia tersenyum manis.
“mama
udah tau semua yang terjadi sama kamu dan kakak. Mama akan mendukung
semua yang kamu lakukan karena mama tau kamu pasti akan melakukan yang
terbaik untukmu dan juga untuk kakakmu. Adil udah besar adil berhak
memakai apa yang telah mama berikan. Mama sayang Adil dan kakak, jaga
diri kalian baik baik ya…” perlahan sesosok wanita itu berubah menjadi
asap putih dan asap putih itu hilang dari pandangan Fadil.
“mama..”
lirih Fadil pelan, ia melihat sekelilingnya sepi tak ada satu orangpun
disana. Ia menghela nafasnya perlahan. “hanya mimpi.” Ujarnya lagi. Ia
bangkit dari tempat dimana ia tertidur, berjalan pelan menuju sebuah
kaca besar dimana dengan kaca itu ia dapat melihat sang kakak yang
sedang tertidur.
“kakak pasti sembuh! Adil janji!” tekatnya bulat.
***
Gadis
itu menggeleng gelengkan kepalanya, ia tersenyum menatap pemuda yang
sedang terlelap di atas kursi ruang tunggu itu, padahal jam sudah
menunjukan jam 12 siang. Ia melangkah pelan menuju pemuda yang merupakan
sahabat baiknya itu.
"dil.." sapanya lembut, ia
guncang guncangkan tubuh pemuda itu pelan, namun tak ada reaksi dari
pemuda itu. Ia tetap terlelap dalam damai.
"Fadil
bangun!!" gadis itu meninggikan volume bicaranya, pemuda itu kali ini
bereaksi, ia menggeliat, lalu mengerjap ngerjapkan matanya. Tapi
kemudian ia kembali menutup matanya.
"aissh bangun!!" Vyone nampak geram, ia kemudian menarik tangan Fadil, hingga membuat posisi Fadil berubah menjadi duduk.
Fadil mengucek ngucek matanya pelan. Nampaknya ia belum sadar sepenuhnya.
"apa?" tanyanya kemudian.
"apa apa... Tau nggak ini jam berapa?" Fadil menggeleng dan mengangkat kedua bahunya.
"issh jam 12 adil!"
"terus?"
"adil harus kerja jam 3 kan?" tanyanya, Fadil hanya mengangguk.
"kan masih 3 jam lagi vyo, adil masih ngantuk nih."
Vyone kembali menggeleng gelengkan kepalanya, ia heran melihat sifat sahabatnya yang tak pernah berubah.
"3
jam sih ia! Tapi kan kantor adil itu jauh dari sini, perjalanan 1 jam
lebih kan? Emang adil nggak mandi, nggak makan gitu?" cerocosnya
panjang. Fadil hanya tersenyum menanggapi sahabatnya ini.
"orang kalo mau kerja dimana mana ntuh mandi sama makan dulu" lanjutnya lagi.
"ya kalau sempet adil mah mandi. Kalo nggak ya udah." jawab Fadil enteng. Vyone menatap fadil tajam. "jorok!"
"hahaha... Yang pentingkan ganteng." ujar Fadil narsis.
"ganteng tapi bau mah sama aja! Udah sana mandi!" kali ini Vyone mendorong tubuh Fadil pelan.
"ia ia bawel amat kayak burung beo." gurau Fadil, sebelum ia pergi menjauh dari Vyone menuju kamar mandi terdekat.
***
Vyone
berdiri dari kursi itu. Berjalan pelan menuju jendela kaca. Ia menatap
nanar pemuda yang sedang terlelap damai itu. Wajah pemuda itu pucat,
tubuhnya yang dulu kurus, kini bertambah kurus, layaknya sebuah tulang
yang terbungkus kulit.
"kak bangun donk. Nggak bosen apa
kak tidur terus? Aku aja yang liat bosen kak. Ayo donk kak bangun, kakak
sudah lama tidurnya. Anak baru lahir aja kalah kak sama kakak" ujarnya
lirih, lagi lagi air mata itu keluar dari manik indahnya, namun Vyone
buru buru menghapusnya. Tujuan ia datang adalah untuk menghibur Fadil,
bukan untuk membuat Fadil melihat air matanya.
Vyone
menghela nafas pelan, lalu ia kembali duduk di tempatnya semula, selang
berapa menit kemudian Fadilpun menghampirinya dan duduk disamping Vyone.
"udah
wangi kan?" tanyanya, Vyone mengangguk pelan. Lalu Ia pun menyodorkan
sebuah rantang kepada Fadil. Fadil menatapnya bingung.
"itu
buat adil. Vyo sendiri yang masak." ujarnya. Fadil tersenyum dan
mengambil rantang itu lalu membukanya. Ia melahap makanan itu cepat,
entah sudah berapa suapan sendok yang sudah masuk ke dalam mulutnya.
"makan
itu pelan pelan. Ntar keselek baru tau rasa." nasehat vyone, iapun
memberikan botol air minum kepada Fadil, fadil menerimanya dan langsung
meminumnya.
"semalam nggak makan ya dil?" tanya vyone, Fadil mengangguk menjawabnya. Vyone menghela nafas pelan.
"udah
berapa kali sih di bilangin? Adil itu harus makan. Kalo adil nggak
makan gimana mau jagain kak Anton?" omelnya, Fadil terdiam ia bingung
harus menjawab apa. Sejujurnya ia ingin membeli makanan saat itu, tapi
uangnya sudah habis terpakai untuk membayar biaya rumah sakit ini. Vyone
menatap fadil iba, ia seperti tau apa yang sedang di pikirkan
sahabatnya ini.
"yaudah mulai sekarang vyone bakal bawa makanan terus buat adil." ujarnya sambil tersenyum manis. Fadil menggeleng pelan.
"nggak usah adil nggak mau ngerepotin kamu terus." ujarnya. Vyone lagi lagi tersenyum.
"aku
nggak pernah ngerasa di repotin. Aku seneng kalo bisa bantu adil."
jawabnya lembut. Fadil menatap vyone, terpancar ketulusan disana.
Sungguh beruntung Fadil memiliki sahabat seperti Vyone, yang selalu siap
membantunya.
"makasih vyo." ujarnya pelan, vyone mengangguk dan kembali tersenyum "selama aku bisa bantu kamu, pasti aku bantu."
***
"udah kelar makannya?" tanya vyone, Fadil hanya mengangguk pelan, lalu meminum kembali air dalam botol yang di berikan vyone.
"makasih." ujarnya tulus. Vyone tersenyum.
"hmm.. Adil ke dalam dulu ya? Mau lihat keadaan kakak."
"ia"
Fadil
bangkit dari tempat duduknya. Berjalan pelan mendekati pintu ruangan
dimana Anton dirawat. Memegang kenop pintu dan kemudian membukanya
perlahan. Lagi dan lagi pemandangan yang sama, yang ia lihat. Pemuda
yang sedang terbaring lemah di temani oleh beberapa alat medis yang
bertugas untuk menyambung hidupnya.
"kak, kalo
kakak udah sembuh kita sama sama ke bukit bintang ya kak? Kita jalan
jalan kak, adil kangen jalan jalan sama kakak. Adil kangen pengen
ngumpul bareng kakak, bercanda bareng sama kakak, di omelin sama kakak,
liat kakak narsis nggak ketulungan kayak dulu. Adil kangen itu semua
kak." ujar Fadil panjang lebar, ia menghela nafas lalu membelai rambut
anton lembut. Lagi lagi cairan bening itu keluar dari mata bulat milik
Fadil. Tetesan air itu jatuh tepat di kening Anton.
Perlahan lahan Anton menggerakan tangannya, bukan hanya itu, mata yang dulu tertutup rapat kini perlahan terbuka.
"dil..." sapa Anton pelan, Fadil buru buru menghapus sisa air matanya.
"kakak
udah sadar? Adil panggilin dokter ya kak?" ujar Fadil, ia nampak begitu
gembira melihat sang kakak kembali membuka matanya. Baru selangkah
Fadil berjalan Anton langsung menarik tangan Fadil dan memeluknya erat.
"maaf." ujar Anton lirih, ia menangis di pelukan Fadil.
"maaf untuk apa?"
"maaf
untuk semuanya. Akhir akhir ini kamu jadi susah karena kakak, kakak
udah jadi beban kamu. Maaf" isaknya pelan. Fadil menarik tubuhnya lalu
menatap kakaknya lembut.
"nggak ada yang perlu di maafin.
Karena kakak nggak salah sama aku. Aku nggak pernah ngerasa susah karena
kakak. Kakak juga bukan beban buat aku. Sekarang tugas kakak itu
berusaha untuk melawan penyakit kakak. Kakak harus sembuh demi aku dan
juga demi kakak." ujar Fadil bijak, ia menghapus air mata Anton dengan
tangannya.
"adil sayang kakak."
***
Malam
kian larut. Biasanya rumah-rumah orang akan sepi oleh pengunjung. Tapi
tidak untuk rumah satu ini. semakin malam justru semakin ramai. Terlebih
ruangan yang bertuliskan UGD yang cukup besar bertengger diatas sana.
Malam
minggu. Mungkin ini sebabnya ruangan itu menjadi penuh sesak. Ada
banyak kecelakaan disana. Terutama anak-anak muda. Alasannya cukup tidak
penting “balapan liar”. Fadil tidak begitu memperdulikannya, dia
kembali berjalan menyusuri tiap lorong Rumah Sakit.
***
Dalam
sebuah novel tertulis sebuah kata yang benar maksudnya “jika pagi
datang, orang yang lalai akan berpikir apa yang harus dia kerjakan.
Sedangkan orang yang berakal akan berpikir apa yang akan Allah lakukan
padanya”. Ya, Fadil telah siap dengan apa yang akan Allah lakukan
padanya.
Langit sedikit mendung tapi tidak hujan.
Rerumputan hijau berjejer rapi ditanah. Kadang menyibak kekiri dan
kekanan mengikuti arah angin. Seperti biasa taman rumah sakit tampak
begitu ramai, terlihat disana lebih banyak keluarga pasien dari pada
pasien. Ada banyak taman disana, ada yang khusus untuk anak-anak, ada
taman yang hanya dipenuhi tanaman dan berjejer kursi taman yang sangat
indah jika dipandangan mata.
Fadil lebih memilih duduk
ditaman yang dipenuhi anak-anak. Terkadang fadil tertawa melihat tingkah
laku mereka. Tidak ada hal yang lebih menyenangkan selain melihat
keusilan-keusilan yang mereka lakukan.
Ia kembali terdiam,
memikirkan apa yang akan ia lakukan, diliriknya kotak yang sedari tadi
ia genggam. Menghela nafas perlahan, lalu membukanya.
Benda
itu berkilau indah akibat pantulan dari sinar matahari. Ya isi dari
kotak itu adalah perhiasan mama Fadil, tentunya perhiasan yang mempunyai
harga jual yang tinggi. Mama sengaja membelinya sebagai tabungan,
jikalau Anton dan Fadil membutuhkannya.
"kakak
kakak kalungnya bagus deh." ujar seorang gadis kecil dengan rambut
sebahunya. Fadil tersenyum, dan mengusap kepala gadis itu.
"kalau
aku udah gede aku mau akh punya kalung kayak gitu." cerocosnya. Fadil
mengangguk pelan. Gadis kecil itupun pergi dari hadapannya dan kembali
bergabung dengan teman temannya.
"kakak akan sembuh dengan ini" ujar Fadil, iapun bangkit dari tempatnya dan berjalan menjauhi taman itu.
***
"kondisi kakakmu semakin memburuk."
"kita
harus segera melakukan pemindahan hati secepatnya, kalau terlambat
sedikit dapat membahayakan nyawanya." Bagaikan tersambar petir Fadil
mendengar perkataan dokter alend. Ia menunduk dalam diam, tapi bedanya
kali ini Fadil tidak mengeluarkan air matanya sedikitpun, ia mencoba
untuk menjadi manusia yang tegar.
"lakukan yang terbaik untuk kakak dok!" ujarnya. Dokter alend menghela nafas perlahan.
"kami
akan berusaha semampu yang kami bisa. Tapi..." dr. Alend menggantung
kalimatnya, ia menatap Fadil lembutnya. Rasanya sangat berat mengatakan
hal ini kepada Fadil.
"tapi apa dok?" tanya Fadil ragu.
"kita
sudah mencari donor hati untuk kakakmu, tapi hasilnya nihil. Tidak ada
satupun yang mempunyai ke cocokan dengan kakakmu." ujar dokter pelan.
Lagi lagi Fadil terdiam, ia bingung apa yang harus ia lakukan sekarang.
"dokter belum memeriksa hati saya kan?" tanyanya. Dokter alend nampak terkejut mendengar perkataan fadil barusan.
"periksa hati saya dok! Saya yakin hati yang saya punya pasti cocok dengan hati kakak!" dokter Alend menggeleng pelan.
Sejujurnya
ia tau pasti, apa yang dikatakan Fadil itu benar. Kemungkinan cocok itu
sangat besar. Tapi ia tak tega jika harus mengoperasi Fadil.
"tidak! Saya tidak akan pernah melakukan itu!" tolak dokter alend tegas. Fadil menatap dokter alend tajam.
"dok, periksa hati ini dok. Saya yakin dengan hati ini kakak dapat tertolong." pintanya.
"tapi kalau kakakmu tau ia pasti akan menolak."
"urusan
kakak biar saya yang urus. Tugas dokter sekarang memeriksa hati ini!
Sekarang!" kali ini Fadil meninggikan nada bicaranya. Dokter alend
terdiam sesaat lalu ia mengangguk pelan. Iapun menyuruh suster Salsa
untuk mengambil sampel darah Fadil. Suster Salsa menatap Fadil iba, tak
tega rasanya harus mengambil darah fadil untuk memeriksa apakah hatinya
cocok atau tidak dengan sang kakak. Tapi ia tau ini adalah tugasnya, ia
harus menurut apapun yang di perintahkan sang dokter. Perlahan suster
salsa mengambil darah Fadil, sementara Fadil, ia tetap diam tak
bergeming, menutup matanya rapat. Nyeri, hanya itu yang dirasakan Fadil
saat suster mengambil darahnya. Tapi Fadil tau ini tidak seberapa dengan
apa yang dirasakan kak Anton selama ini.
"besok hasilnya akan keluar." ujar dokter alend pelan. Fadil mengangguk.
“tolong
tunggu 3 hari lagi, pihak Rumah sakit akan mencoba mencarikan hati yang
cocok untuk kakak kamu” dokter Alend trus saja mencegah fadil untuk
mendonorkan hati. Bukan apa-apa, dia sudah terlancur sayang dan kagum
dengan sosok fadil.
“terima kasih buat bantuan dokter dan
suster selama ini, kalau hasilnya cocok, tolong segera lakukan operasi
secepatnya” pinta fadil. Dokter Alend dan suster salsa hanya saling
bertatapan dalam diam.
Created by :
---> Adisti Natalia
---> Thone Arulliant Fathoni
---> Debpi ZulpiaRni
Tidak ada komentar:
Posting Komentar