Photobucket
PhotobucketPhotobucket

Rabu, 05 Oktober 2011

Gantilah Tangisan itu dengan Senyuman ---> Part 5

Gadis manis itu menatap bangku kosong yang ada disebelahnya, bangku kosong yang telah di tinggalkan sang pemiliknya, gadis itu menghela nafasnya perlahan, ingin sekali rasanya menangis jika ia mengingat kejadian buruk yang sedang di alami sahabat baiknya. Gadis ini tidak bisa membayangkan jika semua itu terjadi pada dirinya, mungkin ia tak bisa setegar yang dilakukan sahabatnya itu..

Tet… Tet.. Tet…

Bunyi bel sekolah itu terdengar begitu nyaring, membuat semangat para siswa yang tadinya sudah padam kembali bangkit. Bel yang tak lain adalah bel pulang sekolah itu benar benar membuat para siswa bersemangat. Begitu pula gadis manis ini, ia segera bangkit dari tempat duduknya, dan langsung beranjak pergi menuju tempat sahabatnya berada..

Harum alkohol langsung tercium ketika gadis ini memasuki sebuah gedung yang di dominasi dengan warna putih itu, ia mempercepat langkahnya,tak ingin rasanya membuang buang waktu saat ini, karena ia sudah tak sabar ingin menemui sahabatnya itu.

Krekkk…
Pintu ruangan itu berdecit nyaring, saat gadis itu membukanya, pandangannya menyusuri tiap sudut ruangan itu. Pemandangan yang sama yang ia lihat, seorang pemuda yang nampak sedang tertidur, wajahnya pucat pasi, di sekelilingnya banyak sekali alat alat medis yang membantunya untuk bertahan hidup.

“sus..” sapa gadis itu pelan. Suster Salsa yang merasa di panggilpun melihat kearahnya lalu tersenyum.
“nyari adil ya?” Tanya suster salsa ramah. Gadis manis itupun mengangguk
“adil lagi di panggil dokter keruangannya..” jawab suster itu.

“oh, lalu bagaimana keadaan kak anton sus? Bertambah baik atau…” gadis itu tak meneruskan kalimatnya, ia menunduk dalam diam, tak terasa air matanya mengalir begitu saja. Suster Salsa menghela nafas perlahan sebelum ia menjawab pertanyaan gadis itu.

“ keadaannya tak begitu baik, jusru keadaannya kian memburuk.” Lagi lagi gadis itu terdiam, ia memandang pemuda itu nanar. Tak tega rasanya melihat pemuda yang telah ia anggap sebagai kakaknya sendiri dalam keadaan sepeti ini. Suster Salsa pun beranjak pergi, namun sebelum ia pergi ia sempat membisikkan sesuatu kepada gadis ini.

“terus beri semangat kepada sahabatmu ya? Ia betul betul anak yang tegar, jangan biarkan semangatnya berkurang” bisiknya pelan, Vyone pun mengangguk lalu menghapus air matanya dengan punggung tangannya. Suster Salsa tersenyum, sebelum akhirnya ia benar benar keluar dari ruangan itu.

Perlahan tapi pasti Vyone berjalan menghampiri pemuda itu, menyeret sebuah kursi, dan di letakan tepat di samping kasur anton.

“cepet sembuh kak. Adil masih butuh kakak di sampingnya. Dia memang tegar di hadapan semua orang, tapi aku tau di dalam hatinya ia menjerit kak. Aku nggak bisa lihat Adil kayak gini kak. Aku pingin liat Adil yang dulu..” isaknya pelan.


Vyone merapikan badannya dan meletakkan kursi ketempat semula.


"vyo keluar dulu yah kak, perut udah keroncongan nih nunggu kakak nggak bangun-bangun, nanti vyo kesini lagi" canda vyone. dia yakin kalau kak Anton pasti mendengarnya.


Banyak orang bilang kalau orang yang sedang koma atau tidak sadarkan diri bisa mendengar apa yang kita bicarakan. "Ajaklah kak Anton ngobrol trus, walaupun dia tidak ikut mengobrol denganmu tapi dia mendengar apa yang kamu katakan" suruh suster Salsa, vyone mengangguk.


***


Krekk…
Pintu ruangan itu kembali berdecit menandakan ada seseorang yang masuk kedalam ruangan ini.

“Vyone..” sapa seseorang yang baru saja memasuki ruangan ini. Gadis itupun melihat dan buru buru menghapus air mata yang masih melekat dipipinya. dia tidak ingin Fadil melihatnya menangis. bagaimana mungkin orang yang mau memberikan semangat untuk sahabatnya malah menangis.

"ngobrol diluar aja yuk..??" ajak Fadil, vyone hanya mengangguk. Banyak bangku berjejer diluar ruangan itu.


“ini.” ucapnya sembari memberikan beberapa tumpukkan kertas yang ia ambil dari tasnya.
“tadi sebelum aku kesini, aku ke tukang foto copy dulu.” Ujarnya.
“itu dari catatan aku, besok kita ulangan, jadi adil harus masuk ya?” lanjutnya lagi.

Ya sudah seminggu belakangan ini Fadil ijin untuk tidak masuk sekolah, ia ingin menemani sang kakak lebih lama. Awalnya permintaan ijin ini di tolak oleh pihak sekolah, namun setelah di rundingkan kembali dengan para guru, Fadilpun akhirnya di ijinkan, tapi dengan satu syarat Fadil harus tetap mengerjakan apapun yang di berikan oleh guru studinya dan harus menghadiri ujian ujian seperti sekarang ini. Beruntung Fadil memiliki sahabat seperti Vyone, yang siap membantu kapanpun ia membutuhkannya. Hampir setiap hari Vyone datang kerumah sakit ini, tujuannya selain menjenguk Anton ia juga menjadi guru privat Fadil.

“makasih ya..” ujar Fadil tulus, vyone mengangguk pelan.

Suasana diluar ruangan memang tidak begitu ramai, hanya ada mereka berdua dan satu keluarga pasien lain yang sedang tertidur lelap dikursi. Mereka berdua kembali kedalam pikiran masing masing. Tanpa di duga duga Vyone berlari kearah Fadil dan memeluknya erat.

“kak Anton bakal sembuh kok, adil tenang aja ya?” suara gadis itupun bergetar tak karuan. Ia tak kuat melihat sahabatnya seperti ini. Fadil memang tersenyum kepadanya, tapi Ia tahu senyum itu tak seperti senyumnya yang dulu. Bagi Vyone senyuman Fadil yang sekarang adalah senyum penderitaan.

“vyo, adil gak pa pa kok.” Ujar Fadil pelan, Vyone menggeleng cepat.

“Adil bisa bohongin semua orang, tapi adil nggak bisa bohongin aku. Aku tau kalau hati Fadil itu menjerit, Fadil cuman sok pura pura tegar, padahal Fadil itu rapuhkan” cerocos Vyone.

Tak ada satupun yang dikatakan oleh Fadil, ia terdiam cukup lama, dan pada akhirnya pertahanan Fadilpun runtuh, ia menangis menumpahkan seluruh beban dalam hatinya pada sahabatnya itu.

“menangis sepuasnya, tapi setelah itu Fadil harus tersenyum.” Ujar Vyone lembut.


***


Fadil berlari menyusuri tiap tiap lorong yang ada di rumah sakit ini. Lagi dan lagi Fadil harus mendengar berita buruk itu. Kondisi sang kakak kembali menurun, padahal baru semalam sang kakak terbangun dari tidur panjangnya. Tapi kenapa kondisinya menurun kembali? Apa Tuhan ingin mempermainkannya? Apa Tuhan hanya memberikan harapan palsu untuknya? Kembali berharap lalu di patahkan kembali?


Arggghh....
Ini semua tak adil baginya. Ia ingin marah. Tapi apa yang ia bisa lakukan? Ia hanya bisa pasrah menghadapi cobaan demi cobaan dalam hidupnya. Kembali air mata itu mendobrak keluar dari manik indahnya.


Ia memegang kenop pintu itu erat. Menghela nafas perlahan, menghapus cairan bening itu, dan mencoba untuk menguatkan dirinya. Ya ia harus kuat demi sang kakak. Ia juga tak ingin membuat orang di sekitarnya menjadi khawatir.


"dok.." sapa fadil pelan. Dokter alend tersenyum, ia begitu mengagumi sifat Fadil.
"duduk dil.." Fadil mengangguk dan langsung duduk di hadapan dr. Alend.

"sebenarnya apa yang terjadi dengan kakak? Bukannya baru kemarin ia melewati masa kritisnya?" serbu Fadil. Nafasnya kini naik turun tak beraturan. Emosinya kini sudah sampai dengan taraf terakhir dan siap meledak kapanpun.

"hmm.. Entah lah.. Banyak memang pasien seperti kakakmu, mereka sempat melewati masa kritisnya namun..." kata kata dr. Alend menggantung, ia melirik ke arah Fadil, setelah itu ia menghela nafasnya.

"tak ada pilihan lain sekarang. Kakakmu harus segera melakukan pemindahan hati itu. Jika tidak..."

"kakak akan meninggal, begitu dok?" potong Fadil cepat. Dokter hanya bisa mengangguk pelan, sunggu tak tega rasanya mengatakan hal sepahit ini kepada Fadil. Dr. Alend begitu menyayangi Fadil, ia sudah menganggap Fadil sebagai adiknya yang telah lama tiada.

"lakukan yang terbaik untuk kakak dok." pinta Fadil, ia kembali menunduk.

"tapi dil, pemindahan hati itu memerlukan biaya yang tak sedikit."

"aku nggak peduli dok! Yang aku mau kakak tetap hidup! Bagaimanapun caranya." ujarnya bersungguh sungguh.


***


Gundukkan tanah yang awalnya merah dan basah kini sudah tiada, di gantikan oleh rerumputan hijau yang subur dan tertata rapi disana.

 Pemuda itu terpaku memandangnya, pikirannya kembali kepada masa itu, masa dimana ia selalu tertawa bersama orang yang ia cintai, masa di mana ia selalu mendapatkan apa yang ia mau, dulu ia hidup dengan indahnya, bahkan nyaris sempurna. Tapi ia tahu hidup itu tak selamanya indah. Ada dimana ia merasakan hidup seperti di surga dan ada kalanya pula ia merasakan hidupnya seperti di neraka.

Hidup yang indah kini hanya sebuah kenangan, ya kenangan indah untuknya. Kini hidup yang gelap terus menghantuinya. Cobaan demi cobaan harus ia lewati. Apa sekarang ia harus menyerah? Menyerah kepada sang takdir? Tidak! Ia tidak akan pernah menyerah! Ia akan terus berusaha melawan takdir pahit itu.

Kini di tangan kanannya memegang erat sebuah rangkaian bunga mawar merah dan tangan yang lain memegang sebuah kotak yang berukuran sedang yang entah berisi apa. Ia terdiam sesaat, menghembuskan nafasnya perlahan.

 Bunga mawar itu ia letakkan di tengah gundukkan rumput hijau itu.

"ma pa, maaf aku baru jenguk kalian." ujarnya pelan.

"akhir akhir ini banyak banget masalah yang aku hadapi. Ingin sekali aku menyerah dan mengakhiri semua ini, melarikan diri dari semua masalah ini, tapi aku nggak bisa, aku nggak mau kehilangan kakak. Aku..." ia menggantungkan kalimatnya. Rasa sesak itu kembali hadir di hatinya, ingin sekali ia menangis saat ini. Tapi ia tau saat ini menangis tak akan menyeselesaikan masalahnya, ia menghela nafasnya perlahan, mengumpulkan segala kekuatan yang masih tersimpan di dalam tubuhnya.

"aku mohon jangan ambil kakak. Aku masih membutuhkannya." lirihnya pelan. Ia menunduk perlahan tapi pasti cairan bening itu kembali keluar menerobos manik beningnya itu.

"apa pun akan aku lakukan, asal kakak selamat." lanjutnya lagi.

"mama lihat kotak ini? Dulu mama pernah bilang ke aku kalau kotak ini untukku dan kakakkan?" tanyanya sembari menunjuk kotak itu. Air matanya kini terus mengalir semakin lama semakin deras. Sekuat apapun ia mencoba untuk menahan air mata itu tapi tetap saja hasilnya nihil air mata itu tak berhenti justru ia keluar begitu derasnya.

"aku mengambil ini sebelum aku dan kakak keluar dari rumah kita. Aku tahu kotak ini akan berguna untuk aku dan kakak." lagi lagi ia terdiam, ia mendongakkan kepalanya ke atas. Menatap langit cerah siang ini. Berharap ke dua orang tuanya sedang melihatnya dari atas sana.

"kakak harus segera melakukan pemindahan hati dan Adil tahu itu membutuhkan biaya yang tak sedikit, Adil tak sanggup membayarnya. Karena itu adil.." hening Fadil tak melanjutkan ucapannya, ia kembali menunduk, tanah yang ia pijak perlahan lahan basah, ia menangis hebat, seakan akan meluapkan rasa sesak yang tersimpan di hatinya. Lama ia terdiam sebelum pada akhirnya ia melanjutkan kalimatnya.

"maaf kalau perbuatan ku salah. Aku tahu mama menyiapkan ini untukku di saat aku membutuhkannya. Tapi kini kakak lebih membutuhkannya, hanya dengan kotak ini kakak dapat menyambung hidupnya." perlahan ia memejamkan kedua matanya, dan beberapa saat kemudian ia kembali membukanya. Ia tersenyum memandang langit siang itu.

“ma, pa adil pulang. Jaga diri kalian disana, semoga kalian bahagia.” Ucapnya pelan, ia lalu menunduk dan mencium batu nisan orang tuanya. Perlahan ia pun pergi meninggalkan tempat dimana kedua orangtuanya beristirahat dengan tenang.


***


Malam kian larut, suasana disini begitu sepi, tak ada orang yang terlihat berlalu lalang di tempat ini, yang terlihat hanya seorang pemuda yang sedang tertidur lelap.

“aku dimana?” tanyanya pelan. Ia sungguh tak mengetahui dimana ia berada sekarang. Tempat ini begitu sunyi tak ada tanda tanda kehidupan disana. Perlahan tapi pasti ia melihat  asap putih yang sedang menghampirinya. Awalnya asap putih itu tak begitu jelas tapi lama kelamaan asap itu menyerupai seseorang wanita yang sangat pemuda ini rindukan “mama..” ujarnya pelan, ia membeku di tempatnya. Tak tau harus berkata dan melakukan apa.

“sayang, mama kangen banget sama kamu.” Ujar wanita itu, ia tersenyum manis.
“mama udah tau semua yang terjadi sama kamu dan kakak. Mama akan mendukung semua yang kamu lakukan karena mama tau kamu pasti akan melakukan yang terbaik untukmu dan juga untuk kakakmu. Adil udah besar adil berhak memakai apa yang telah mama berikan. Mama sayang Adil dan kakak, jaga diri kalian baik baik ya…” perlahan sesosok wanita itu berubah menjadi asap putih dan asap putih itu hilang dari pandangan Fadil.

“mama..” lirih Fadil pelan, ia melihat sekelilingnya sepi tak ada satu orangpun disana. Ia menghela nafasnya perlahan. “hanya mimpi.” Ujarnya lagi. Ia bangkit dari tempat dimana ia tertidur, berjalan pelan menuju sebuah kaca besar dimana dengan kaca itu ia dapat melihat sang kakak yang sedang tertidur.

“kakak pasti sembuh! Adil janji!” tekatnya bulat.


***


Gadis itu menggeleng gelengkan kepalanya, ia tersenyum menatap pemuda yang sedang terlelap di atas kursi ruang tunggu itu, padahal jam sudah menunjukan jam 12 siang. Ia melangkah pelan menuju pemuda yang merupakan sahabat baiknya itu.


"dil.." sapanya lembut, ia guncang guncangkan tubuh pemuda itu pelan, namun tak ada reaksi dari pemuda itu. Ia tetap terlelap dalam damai.

"Fadil bangun!!" gadis itu meninggikan volume bicaranya, pemuda itu kali ini bereaksi, ia menggeliat, lalu mengerjap ngerjapkan matanya. Tapi kemudian ia kembali menutup matanya.

"aissh bangun!!" Vyone nampak geram, ia kemudian menarik tangan Fadil, hingga membuat posisi Fadil berubah menjadi duduk.


 Fadil mengucek ngucek matanya pelan. Nampaknya ia belum sadar sepenuhnya.


"apa?" tanyanya kemudian.

"apa apa... Tau nggak ini jam berapa?" Fadil menggeleng dan mengangkat kedua bahunya.

"issh jam 12 adil!"

"terus?"

"adil harus kerja jam 3 kan?" tanyanya, Fadil hanya mengangguk.

"kan masih 3 jam lagi vyo, adil masih ngantuk nih."


Vyone kembali menggeleng gelengkan kepalanya, ia heran melihat sifat sahabatnya yang tak pernah berubah.


"3 jam sih ia! Tapi kan kantor adil itu jauh dari sini, perjalanan 1 jam lebih kan? Emang adil nggak mandi, nggak makan gitu?" cerocosnya panjang. Fadil hanya tersenyum menanggapi sahabatnya ini.

"orang kalo mau kerja dimana mana ntuh mandi sama makan dulu" lanjutnya lagi.

"ya kalau sempet adil mah mandi. Kalo nggak ya udah." jawab Fadil enteng. Vyone menatap fadil tajam. "jorok!"

"hahaha... Yang pentingkan ganteng." ujar Fadil narsis.

"ganteng tapi bau mah sama aja! Udah sana mandi!" kali ini Vyone mendorong tubuh Fadil pelan.

"ia ia bawel amat kayak burung beo." gurau Fadil, sebelum ia pergi menjauh dari Vyone menuju kamar mandi terdekat.


***


Vyone berdiri dari kursi itu. Berjalan pelan menuju jendela kaca. Ia menatap nanar pemuda yang sedang terlelap damai itu. Wajah pemuda itu pucat, tubuhnya yang dulu kurus, kini bertambah kurus, layaknya sebuah tulang yang terbungkus kulit.

"kak bangun donk. Nggak bosen apa kak tidur terus? Aku aja yang liat bosen kak. Ayo donk kak bangun, kakak sudah lama tidurnya. Anak baru lahir aja kalah kak sama kakak" ujarnya lirih, lagi lagi air mata itu keluar dari manik indahnya, namun Vyone buru buru menghapusnya. Tujuan ia datang adalah untuk menghibur Fadil, bukan untuk membuat Fadil melihat air matanya.

Vyone menghela nafas pelan, lalu ia kembali duduk di tempatnya semula, selang berapa menit kemudian Fadilpun menghampirinya dan duduk disamping Vyone.

"udah wangi kan?" tanyanya, Vyone mengangguk pelan. Lalu Ia pun menyodorkan sebuah rantang kepada Fadil. Fadil menatapnya bingung.

"itu buat adil. Vyo sendiri yang masak." ujarnya. Fadil tersenyum dan mengambil rantang itu lalu membukanya. Ia melahap makanan itu cepat, entah sudah berapa suapan sendok yang sudah masuk ke dalam mulutnya.

"makan itu pelan pelan. Ntar keselek baru tau rasa." nasehat vyone, iapun memberikan botol air minum kepada Fadil, fadil menerimanya dan langsung meminumnya.

"semalam nggak makan ya dil?" tanya vyone, Fadil mengangguk menjawabnya. Vyone menghela nafas pelan.

"udah berapa kali sih di bilangin? Adil itu harus makan. Kalo adil nggak makan gimana mau jagain kak Anton?" omelnya, Fadil terdiam ia bingung harus menjawab apa. Sejujurnya ia ingin membeli makanan saat itu, tapi uangnya sudah habis terpakai untuk membayar biaya rumah sakit ini. Vyone menatap fadil iba, ia seperti tau apa yang sedang di pikirkan sahabatnya ini.

"yaudah mulai sekarang vyone bakal bawa makanan terus buat adil." ujarnya sambil tersenyum manis. Fadil menggeleng pelan.

"nggak usah adil nggak mau ngerepotin kamu terus." ujarnya. Vyone lagi lagi tersenyum.

"aku nggak pernah ngerasa di repotin. Aku seneng kalo bisa bantu adil." jawabnya lembut. Fadil menatap vyone, terpancar ketulusan disana. Sungguh beruntung Fadil memiliki sahabat seperti Vyone, yang selalu siap membantunya.

"makasih vyo." ujarnya pelan, vyone mengangguk dan kembali tersenyum "selama aku bisa bantu kamu, pasti aku bantu."


***


"udah kelar makannya?" tanya vyone, Fadil hanya mengangguk pelan, lalu meminum kembali air dalam botol yang di berikan vyone.

"makasih." ujarnya tulus. Vyone tersenyum.

"hmm.. Adil ke dalam dulu ya? Mau lihat keadaan kakak."

"ia"


Fadil bangkit dari tempat duduknya. Berjalan pelan mendekati pintu ruangan dimana Anton dirawat. Memegang kenop pintu dan kemudian membukanya perlahan. Lagi dan lagi pemandangan yang sama, yang ia lihat. Pemuda yang sedang terbaring lemah di temani oleh beberapa alat medis yang bertugas untuk menyambung hidupnya.


"kak, kalo kakak udah sembuh kita sama sama ke bukit bintang ya kak? Kita jalan jalan kak, adil kangen jalan jalan sama kakak. Adil kangen pengen ngumpul bareng kakak, bercanda bareng sama kakak, di omelin sama kakak, liat kakak narsis nggak ketulungan kayak dulu. Adil kangen itu semua kak." ujar Fadil panjang lebar, ia menghela nafas lalu membelai rambut anton lembut. Lagi lagi cairan bening itu keluar dari mata bulat milik Fadil. Tetesan air itu jatuh tepat di kening Anton.


Perlahan lahan Anton menggerakan tangannya, bukan hanya itu, mata yang dulu tertutup rapat kini perlahan terbuka.

"dil..." sapa Anton pelan, Fadil buru buru menghapus sisa air matanya.

"kakak udah sadar? Adil panggilin dokter ya kak?" ujar Fadil, ia nampak begitu gembira melihat sang kakak kembali membuka matanya. Baru selangkah Fadil berjalan Anton langsung menarik tangan Fadil dan memeluknya erat.

"maaf." ujar Anton lirih, ia menangis di pelukan Fadil.

"maaf untuk apa?"

"maaf untuk semuanya. Akhir akhir ini kamu jadi susah karena kakak, kakak udah jadi beban kamu. Maaf" isaknya pelan. Fadil menarik tubuhnya lalu menatap kakaknya lembut.

"nggak ada yang perlu di maafin. Karena kakak nggak salah sama aku. Aku nggak pernah ngerasa susah karena kakak. Kakak juga bukan beban buat aku. Sekarang tugas kakak itu berusaha untuk melawan penyakit kakak. Kakak harus sembuh demi aku dan juga demi kakak." ujar Fadil bijak, ia menghapus air mata Anton dengan tangannya.

"adil sayang kakak."


 ***


Malam kian larut. Biasanya rumah-rumah orang akan sepi oleh pengunjung. Tapi tidak untuk rumah satu ini. semakin malam justru semakin ramai. Terlebih ruangan yang bertuliskan UGD yang cukup besar bertengger diatas sana.

Malam minggu. Mungkin ini sebabnya ruangan itu menjadi penuh sesak. Ada banyak kecelakaan disana. Terutama anak-anak muda. Alasannya cukup tidak penting “balapan liar”. Fadil tidak begitu memperdulikannya, dia kembali berjalan menyusuri tiap lorong Rumah Sakit.


 ***


Dalam sebuah novel tertulis sebuah kata yang benar maksudnya “jika pagi datang, orang yang lalai akan berpikir apa yang harus dia kerjakan. Sedangkan orang yang berakal akan berpikir apa yang akan Allah lakukan padanya”. Ya, Fadil telah siap dengan apa yang akan Allah lakukan padanya.

Langit sedikit mendung tapi tidak hujan. Rerumputan hijau berjejer rapi ditanah. Kadang menyibak kekiri dan kekanan mengikuti arah angin. Seperti biasa taman rumah sakit tampak begitu ramai, terlihat disana lebih banyak keluarga pasien dari pada pasien. Ada banyak taman disana, ada yang khusus untuk anak-anak, ada taman yang hanya dipenuhi tanaman dan berjejer kursi taman yang sangat indah jika dipandangan mata.

Fadil lebih memilih duduk ditaman yang dipenuhi anak-anak. Terkadang fadil tertawa melihat tingkah laku mereka. Tidak ada hal yang lebih menyenangkan selain melihat keusilan-keusilan yang mereka lakukan.

Ia kembali terdiam, memikirkan apa yang akan ia lakukan, diliriknya kotak yang sedari tadi ia genggam. Menghela nafas perlahan, lalu membukanya.

Benda itu berkilau indah akibat pantulan dari sinar matahari. Ya isi dari kotak itu adalah perhiasan mama Fadil, tentunya perhiasan yang mempunyai harga jual yang tinggi. Mama sengaja membelinya sebagai tabungan, jikalau Anton dan Fadil membutuhkannya.


"kakak kakak kalungnya bagus deh." ujar seorang gadis kecil dengan rambut sebahunya. Fadil tersenyum, dan mengusap kepala gadis itu.

"kalau aku udah gede aku mau akh punya kalung kayak gitu." cerocosnya. Fadil mengangguk pelan. Gadis kecil itupun pergi dari hadapannya dan kembali bergabung dengan teman temannya.

"kakak akan sembuh dengan ini" ujar Fadil, iapun bangkit dari tempatnya dan berjalan menjauhi taman itu.


 ***


"kondisi kakakmu semakin memburuk."

"kita harus segera melakukan pemindahan hati secepatnya, kalau terlambat sedikit dapat membahayakan nyawanya." Bagaikan tersambar petir Fadil mendengar perkataan dokter alend. Ia menunduk dalam diam, tapi bedanya kali ini Fadil tidak mengeluarkan air matanya sedikitpun, ia mencoba untuk menjadi manusia yang tegar.

"lakukan yang terbaik untuk kakak dok!" ujarnya. Dokter  alend menghela nafas perlahan.

"kami akan berusaha semampu yang kami bisa. Tapi..." dr. Alend menggantung kalimatnya, ia menatap Fadil lembutnya. Rasanya sangat berat mengatakan hal ini kepada Fadil.

"tapi apa dok?" tanya Fadil ragu.

"kita sudah mencari donor hati untuk kakakmu, tapi hasilnya nihil. Tidak ada satupun yang mempunyai ke cocokan dengan kakakmu." ujar dokter pelan. Lagi lagi Fadil terdiam, ia bingung apa yang harus ia lakukan sekarang.

"dokter belum memeriksa hati saya kan?" tanyanya. Dokter alend nampak terkejut mendengar perkataan fadil barusan.

"periksa hati saya dok! Saya yakin hati yang saya punya pasti cocok dengan hati kakak!" dokter Alend menggeleng pelan.


Sejujurnya ia tau pasti, apa yang dikatakan Fadil itu benar. Kemungkinan cocok itu sangat besar. Tapi ia tak tega jika harus mengoperasi Fadil.


"tidak! Saya tidak akan pernah melakukan itu!" tolak dokter alend tegas. Fadil menatap dokter alend tajam.

"dok, periksa hati ini dok. Saya yakin dengan hati ini kakak dapat tertolong." pintanya.

"tapi kalau kakakmu tau ia pasti akan menolak."

"urusan kakak biar saya yang urus. Tugas dokter sekarang memeriksa hati ini! Sekarang!" kali ini Fadil meninggikan nada bicaranya. Dokter alend terdiam sesaat lalu ia mengangguk pelan. Iapun menyuruh suster Salsa untuk mengambil sampel darah Fadil. Suster Salsa menatap Fadil iba, tak tega rasanya harus mengambil darah fadil untuk memeriksa apakah hatinya cocok atau tidak dengan sang kakak. Tapi ia tau ini adalah tugasnya, ia harus menurut apapun yang di perintahkan sang dokter. Perlahan suster salsa mengambil darah Fadil, sementara Fadil, ia tetap diam tak bergeming, menutup matanya rapat. Nyeri, hanya itu yang dirasakan Fadil saat suster mengambil darahnya. Tapi Fadil tau ini tidak seberapa dengan apa yang dirasakan kak Anton selama ini.

"besok hasilnya akan keluar." ujar dokter alend pelan. Fadil mengangguk.

“tolong tunggu 3 hari lagi, pihak Rumah sakit akan mencoba mencarikan hati yang cocok untuk kakak kamu” dokter Alend trus saja mencegah fadil untuk mendonorkan hati. Bukan apa-apa, dia sudah terlancur sayang dan kagum dengan sosok fadil.

“terima kasih buat bantuan dokter dan suster selama ini, kalau hasilnya cocok, tolong segera lakukan operasi secepatnya” pinta fadil. Dokter Alend dan suster salsa hanya saling bertatapan dalam diam.


Created by :

---> Adisti Natalia
---> Thone Arulliant Fathoni
---> Debpi ZulpiaRni

Tidak ada komentar:

Posting Komentar